Minggu, 16 Januari 2011

JIKA FENOMENANYA BEGITU …. ADAKAH NASYID ISLAMI SAAT INI?

Oleh: Farid Nu’man Hasan
 
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.(QS. Adz Dzariyat (51): 55)
                Ini adalah fenomena baru, walau tidak terlalu baru. Dahulu kami pernah melihat di sebuah video klip konser nasyid di sebuah kampus negeri ternama di tanah air. Mual melihatnya. Tapi, kami mencoba berbaik sesangka, dan memang seharusnya demikian; yakni bahwa mereka adalah orang yang baru tersentuh tarbiyah, bisa jadi romantika kejahiliyahan masih  ada dan tidak secepat itu bisa berubah.
                Lalu, kami tak pernah lagi memperhatikan   dunia  nasyid, yang kami tahu hanyalah bahwa nasyid saat ini telah menggunakan musik dengan berbagai jenisnya. Padahal dahulunya diharamkan, bahkan nasyid Al Quds (1993) yang hanya menggunakan bedug sempat terjadi pro kontra. Dahulu Ikhwah tidak menganggap nasyid terhadap; hadad alwi dan sulis, NGeK (Nasyid Gang Kober) yang dimiliki mahasiswa Fakultas Sastra UI (sekarang FIB), apa pasal? Karena mereka menggunakan musik, seperti gitar, piano, dan biola!  Yah, cepat sekali pagi menjadi malam. Nasyid saat ini, sudah melebihi mereka dalam liberasi menggunakan alat-alat musik. Mereka terjatuh pada kubangan yang dahulu mereka haramkan. Perbedaan dengan dangdut, pop, rock, jazz, dan ganre musik lainnya hanya pada syair dan bumbu teriakan takbirnya –yang seakan sekedar syarat saja untuk tetap disebut nasyid-, ada pun gaya penyanyinya, lighting, dan setting panggung, beti (beda-beda tipis) dengan yang lain.
Sementara di penonton, mulai terjadi ikhtilath, histeris melihat munsyid beraksi, dan mereka menghentakan tubuh dan menggoyangkan kaki, sebagaimana yang kami lihat langsung di aksi Munasharah Palestina di Monas, beberapa hari yang lalu. Entah adakah jiwa yang berontak saat itu melihat ini?
                Kira-kira tahun 1996-1997, aktifis dakwah heboh dan risih dengan rencana kelompok nasyid akhwat BESTARI untuk masuk dapur rekaman walau hanya untuk kalangan  wanita. Apakah ada jaminan hanya akhwat yang mendengar? Terjadilah pro – kontra, namun masalah ini hilang dengan sendirinya. Itu dahulu.  Saat ini, tak ada lagi yang protes ketika wanita bernyanyi di atas panggung di depan ribuan laki-laki yang bukan mahramnya, saat Munasharah di Monas. (Saat itu kami baru sampai,  kami dan isteri hanya bisa istighfar dan menggelengkan kepala)
                Menurut mayoritas fuqaha (ahli fiqih/juris) mendengarkan nyanyian adalah HARAM, yakni JIKA:
1.       Jika dibarengi dengan hal yang munkar
2.       Jika ditakuti mengantarkan kepada fitnah seperti terperangkap oleh wanita, atau remaja yang masih sangat muda, atau bangkitnya syahwat yang mengantarkannya pada zina
3.       Jika membuat pendengarnya meninggalkan kewajiban agama seperti shalat, dan   meninggalkan kewajiban dunia yang harus dilakukannya, ada pun jika sampai meninggalkan perbuatan sunah maka itu makruh, seperti meninggalkan shalat malam, doa di waktu sahur, dan semisalnya. (Ihya ‘Ulumuddin, 2/269. Sunan Al Baihaqi, 5/69, 97. Asna Al Mathalib, 4/44, terbitan Al Maktabah Al Islamiyah. Hasyiah Al Jumal, 5/380, terbitan Dar Ihya At Turats. Hasyiah Ibnu ‘Abidin, 4/384 dan 5/22, Hasyiah Ad Dasuqi, 4/166. Al Mughni, 9/175, Al Manar Ats Tsalitsah. ‘Umdatul Qari, 6/271, terbitan Al Muniriyah)
 
Artinya kebolehannya tidak mutlak, mesti diberikan syarat. Ada pun pendapat Syafi’iyah, Malikiyah, dan sebagian Hanabilah, bahwa hal itu (nyanyian untuk menghibur jiwa) adalah  makruh. Jika mendengarkannya dari wanita ajnabiyah (bukan mahram) maka lebih makruh lagi. Kalangan Malikiyah menerangkan sebab kemakruhannya, karena mendengarkan nyanyian menghilangkan muru’ah (citra diri yang baik/wibawa). Sedangkan Syafi’iyah mengatakan; “ Di dalamnya terdapat  hal yang  melalaikan.”  Sedangkan Imam Ahmad menjelaskan sebabnya: “Aku tidak menyukai nyanyian , karena nyanyian dapat menumbuhkan nifaq di hati.”  (Hasyiah Ad Dasuqi, 4/166. Al Mughni, 9/175. Asna Al Mathalib, 4/344)
Para ulama yang membolehkan pun bukan tanpa syarat, dan jika syarat ini dilanggar maka mereka tetap mengharamkan, sebagaimana dikatakan Imam Al Ghazali Rahmatullah ‘Alaih dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah dalam kitab Fiqh Al Ghina wal Musiqy fi Dhau’il Quran was Sunnah.
Syarat tersebut adalah;
1.       Syair tidak boleh bertentangan dengan syariat. (Tahun 2000an, sempat ada nasyid berjudul: Tuhan ada di mana-mana, ini adalah kalimat  kufur, sebagaimana yang dikatakan Imam Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu)
2.        Gaya menyanyikannya tidak mengandung maksiat. (Di antaranya adalah tidak meniru-niru gaya orang kafir dan fasiq ketika bernyanyi)
3.       Nyanyian tersebut tidak dibarengi sesuatu yang diharamkan. (Syaikh Al Qaradhawi memasukkan ikhtilath termasuk hal yang diharamkan ada dalam pertunjukkan nyanyian)
4.       Tidak berlebihan dalam mendengarkannya.
5.       Terkait dengan keadaan dan perilaku pendengar (penonton). (Imam Al Ghazali pun menerangkan bahwa kebolehan mendengarkan nyanyian bisa menjadi haram karena perubahan pada perilaku pendengarnya saat mendengarkan/menontonnya. Ini perlu disadari oleh para penikmat nasyid yang  jingkrak-jingkrak dan histeris itu ….)
Kami hanya ingin mengatakan: “Seandainya pun itu tidak haram, seharusnya malu terhadap status sebagai aktifis Islam.  Seharusnya jidat yang hitam dan jenggot  bisa menahan diri dari itu …. .”
Demikian ini adalah sikap  para ulama jika lagu (nasyid) tanpa musik -yang semakin tidak dikenal oleh generasi tarbiyah saat ini (karena generasi tua pun meninggalkannya!), lalu bagaimana jika dengan musik?
Ada pun musik, Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
صوتان ملعونان في الدنيا والآخرة مزمار عند نعمة ورنة عند مصيبة
“Ada dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat; suara seruling ketika mendapatkan kenikmatan dan raungan ketika musibah.” (HR. Al Bazzar, para perawinya: tsiqat. Syaikh Al Albani menghasankan. Lihat Shahih At Targhib wat Tarhib No. 3527)
                Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata:
الدف حرام والمعازف حرام والكوبة حرام والمزمار حرام.
          “Rebana adalah haram, al ma’azif adalah haram, gendang adalah haram, dan seruling adalah haram.” (HR. Al Baihaqi, 10/222. Dari jalan Abdul Karim Al Jazari dari Abu Hasyim Al Kufi. Syaikh Al Albani mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Tahrim Alat Ath Tharb, Hal. 92. Cet. 3,  1426H-2005M. Muasasah Ar Rayyan)
                Apakah Al Ma’azif? Berkata Imam Adz Dzahabi Rahimahullah:
اسم لكل آلات الملاهي التي يعزف بها، كالزمر، والطنبور، والشبابة، والصنوج.
                “Nama untuk semua alat-alat musik yang dimainkan, seperti seruling, tamborin, syabaabah (sejenis seruling juga),   simbal (sejenis alat musik).” (Siyar A’lam An Nubala, 21/158)
                Sedangkan  ‘Alim Rabbani Al Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengartikan:
أن المعازف هى آلات اللهو كلها، لا خلاف بين أهل اللغة فى ذلك.
                “Bahwa Al Ma’azif adalah semua alat-alat musik, dan tidak ada perbedaan pendapat di antara ahli bahasa tentang itu.” (Ighatsatul Lahfan, Hal. 260)
                Imam Hasan Al Bashri Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:
ليس الدفوف من أمر المسلمين في شيء وأصحاب عبد الله يعني ابن مسعود كانوا يشققونها.
                “Rebana sama sekali bukan berasal dari budaya kaum muslimin, dan para sahabat Abdullah bin Mas’ud merobek-robeknya.” (Tahrim Alat Ath Tharb, Hal. 103-104)
                Imam Abu Yusuf Rahimahullah –murid dari Imam Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu, berkata, tentang mendengarkan suara alat musik dari rumah seseorang:
أدخل عليهم بغير إذنهم،لأن النهى عن المنكر فرض
                “Masuklah ke rumah mereka dengan tanpa izin, karena mencegah kemungkaran adalah wajib.” (Ibid, Hal. 227)
                Demikian di antara celaan terhadap musik dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sahabat, tabi’in, dan imam kaum muslimin.
                ………………….
                Sementara itu semakin banyak aktifis Islam, ikhwan dan akhwat, yang semakin tidak mengindahkan ini. Mereka tidak peduli (atau tidak tahu?), indhibath syar’i-nya menipis. Ringtone dipilih dari musik  jahiliyah yang ngetrend atau pernah ngetrend, baik Barat atau Indonesia,  yang membuat  pendengarnya terasosiasi dan teringat dengan lagu jahiliyah tersebut, bahkan teringat dengan penyanyinya, lebih jauh lagi membawa manusia larut dalam kenangan lama ketika belum tersentuh Islam.
                Ada juga di antara mereka yang mengkoleksi di HP,   MP3, flashdisk,  atau MP4, juga Lap top lagu-lagu barat dan Indonesia yang dicampur juga oleh murattal. Ketika berkumpul dengan orang baik, mereka menyetel murattal sebagai pencitraan, tapi dalam perjalanan   atau dalam kesendirian mereka menyetel lagu tersebut.  Bahkan ada juga yang tanpa malu menyanyikan lagu-lagu itu di depan orang lain yang terlanjur menilainya sebagai aktifis dakwah; ikhwan dan akhwat ..  tak peduli dengan jilbab lebarnya, dan tidak peduli dengan itu semua. Emang gue pikirin! Mumpung murabbi tidak melihat (sayangnya, murabbinya pun juga demikian!)
                Laa hawlaa wa laa quwwata illa billah …
                Ini baru satu masalah; yaitu nasyid anak zaman sekarang. Masih menumpuk masalah lain; rapat pakai hijab tapi boncengan motor berdua dengan  yang bukan mahram, chatting genit berawal membicarakan dakwah, SMS cinta yang dibumbui ‘jangan lupa shalat malam’, akhwat yang tabarruj (bersolek) dan memakai parfume di luar rumahnya,  saling mengingkat janji padahal rencana nikah masih tiga tahun lagi, tidak berwibawanya institusi murabbi dalam memberikan pertimbangan memilih jodoh, nge –take person tertentu, patah hati lalu berhenti tarbiyah, bahkan ada yang sampai pada tingkat berzina, dan segudang masalah lainnya. Untuk kalangan ikhwah produk lama, tidak kalah masalah mereka; kejenuhan tarbiyah, malas amal da’awi, rumah tangga hambar, anak bermasalah, yang akhwat  jilbab semakin pendek, yang ikhwan bosan dengan isterinya, dan seterusnya.
                Ini memang bukan kejadian yang massiv, dan umumnya sangat personally dan kasuistis –bahkan bisa jadi ada yang mengatakan sebagai kejadian manusiawi dan lumrah, tapi tidak kita ingkari keberadaannya sudah mulai tidak dikatakan sedikit, bahkan  ada yang keadaan dan kasusnya  lebih tidak mengenakkan  untuk diceritakan, dan lebih tidak pantas terjadi.
                Maka, wajib bagi aktifis Islam untuk takut kepada Allah Ta’ala, membersihkan niatnya, serta semakin memahami dan menghayati apa yang dipelajarinya, lalu berpegang teguh kepadanya. Semoga Allah Ta’ala mengampuni kesalahan kita semua, dan membimbing kita ke jalan yang lebih baik ….
                Wallahu A’lam  

http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/199

Selasa, 11 Januari 2011

TRADISI MEMBACA TERJEMAH AL QUR’AN

BismilLah walhamdulilLah. wa-shshalatu wa-ssalamu ‘ala rasulilLah
wa ‘ala alihi wa ashhabihi wa ma-wwalah, amma ba’du

assalamu’alaikum wa rohmatullohi ta’ala wa barokatuhu

Sebuah angket yang dibuat oleh sebuah perpustakaan Islam belum lama ini
cukup menghentakkan kelalaian kita sebagai umat Islam.
Pernahkah anda membaca khatam terjemahan ayat ayat suci Al Qur’an (sebanyak 30 juz).

Sebagian besar pengisi angket itu bisa dipastikan akan menjawab tidak.
Mengapa jawabannya bisa ditebak sebegitu mudah ?
Hal ini karena selama ini tradisi membaca Al Qur’an berikut artinya
memang masih terasa asing dirumah rumah muslim.

Pastinya, tidak ada orang yang setiap ba’da Maghrib
membaca Al-Qur’an berikut artinya dengan suara lantang.
Atau setidaknya membaca Al-Qur’an dengan lantang
yang kemudian membaca artinya secara perlahan,
baik secara bergantian maupun berurutan.

Hal ini masih dianggap aneh.
Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa mendengar
bacaan Al Qur’an dengan modal semacam ini pastilah
terdengar janggal di telinga.
Biasanya, pengertian ibadah membaca Al Qur’an itu baru
sebatas anjuran membaca Al-Qur’an sesering mungkin supaya
mendapatkan pahala dan menenteramkan hati yang
sedang dirundung masalah.

Padahal, sesungguhnya hakekat dari membaca Al Qur’an
secara berulang ulang adalah untuk memahami dan mendalami
firman firman Alloh.

Tapi bagaimana mungkin muncul sebuah pemahaman bila arti ayat Al
Qur’an yang tertulis dalam bahasa Arab tidak diketahui sama sekali.
Apalagi semua orang sadar, hanya sepersekian persen saja orang Islam
yang mengerti bahasa Arab.

Secara tekstual, Al Qur’an memang memiliki untaian kata yang indah
karena ia disusun dengan bahasa sastrawi yang tiada tandingnya.
Maka hanya dengan mendengarnya saja , hati seseorang dapat bergetar
dan tunduk kepada kebesaran asmaNya.
Yang membacanya pun bisa mendapatkan ketentraman hati
yang luar biasa hebat.

Tapi, sebagai umat Nabi Muhammad SAW yang diperintahkan untuk ber - iqra’
(mengkaji, mendalami, dan mengembangkan ilmu ), tentulah membaca saja jauh
dari kata cukup, tetapi juga membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang
makna dan arti firman firman Alloh.

Bukankah Al Qur’an adalah kitab suci yang mengandung begitu banyak hamparan ilmu ?
Didalamnya tercakup semua aspek kehidupan manusia dan segala informasi
tentang masa lalu dan masa yang akan datang.

Tidak ada satupun kajian ilmu yang luput dari penuturan Al Qur’an.
Maka untuk memahami kandungan ayat ayat suci Al Qur’an yang begitu luas,
para ulama berlomba lomba membuat kitab kitab tafsir.

Sebut saja sedikit contoh Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir fi Dzilalil Qur’an,
dan masih banyak lagi yang lainnya. Termasuk juga buku tafsir kontemporer
yang ditulis oleh ulama masa kini, seperti Tafsir Misbah karangan
Prof Dr. M Quraish Shihab.

Buku buku tafsir inilah ( disamping buku buku penunjang lainnya )
yang bisa mengantarkan kita kepada pemahaman ayat ayat Al Qur’an.
Semakin dalam Al Qur’an dikaji, semakin sedikit ilmu yang kita miliki.
Dan semakin banyak pula kunci kunci ilmu yang bisa ditemukan dalam Al Qur’an.

Demikianlah. Bila tradisi membaca Al Qur’an masih terpaku kepada cara cara
konvensional, maka umat Islam akan selalu tertinggal sekian langkah
dibelakang ilmuwan ilmuwan Barat yang saat ini sedang sibuk dalam menerapkan
ilmu ilmu yang mereka punya dalam bentuk penemuan-penemuan baru dan
teknologi masa depan.

Lalu, saat penemuan itu dilansir disebuah media massa,
barulah kita berujar,” Ah, itu mah sudah tertulis di dalam Al Qur’an…..?!
Wallahu ‘alam bish showab

Semoga Bermanfaat
sumber: http://arsel.blogsome.com/2005/09/

Sebuah Renungan Terhadap Kematian

Oleh
Al-Ustadz Muhammad Arifin Badri MA, Hafidzahullah

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Saudaraku! Anda masih ingat detik-detik ketika kakek, atau nenek, atau mungkin ayah, ibunda, atau mungkin juga istri atau suami tercinta meregang nyawanya? Pernahkah anda bertanya dan berpikir apakah yang mereka rasakan ketika ruh mereka meninggalkan raganya?

Agar anda dapat menerka apa yang mereka rasakan kala itu, coba anda kembali mengingat raut wajah mereka ketika detik-detik terakhir sebelum meninggal dunia.

Tahukah saudara! Apa yang dialami oleh ayahanda atau kerabat anda saat itu? Tahukah saudara, dengan siapa ia berhadapan? Berikut inilah kejadian yang dialami oleh ayahanda atau ibunda atau kerabat anda kala itu (Kisah ini dituturkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan Ibnu Majah):

إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِى انْقِطَاعٍ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مَلاَئِكَةٌ مِنَ السَّمَاءِ بِيضُ الْوُجُوهِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الشَّمْسُ مَعَهُمْ كَفَنٌ مِنْ أَكْفَانِ الْجَنَّةِ وَحَنُوطٌ مِنْ حَنُوطِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسُوا مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَجِىءُ مَلَكُ الْمَوْتِ عَلَيْهِ السَّلاَمُ حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَيَقُولُ أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ اخْرُجِى إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ - قَالَ - فَتَخْرُجُ تَسِيلُ كَمَا تَسِيلُ الْقَطْرَةُ مِنْ فِى السِّقَاءِ فَيَأْخُذُهَا فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوهَا فِى يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَأْخُذُوهَا فَيَجْعَلُوهَا فِى ذَلِكَ الْكَفَنِ وَفِى ذَلِكَ الْحَنُوطِ وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَطْيَبِ نَفْحَةِ مِسْكٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ - قَالَ - فَيَصْعَدُونَ بِهَا فَلاَ يَمُرُّونَ - يَعْنِى بِهَا - عَلَى مَلأٍ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ إِلاَّ قَالُوا مَا هَذَا الرُّوحُ الطَّيِّبُ فَيَقُولُونَ فُلاَنُ بْنُ فُلاَنٍ بِأَحْسَنِ أَسْمَائِهِ الَّتِى كَانُوا يُسَمُّونَهُ بِهَا فِى الدُّنْيَا

"Sesungguhnya bila seorang yang beriman hendak meninggal dunia dan memasuki kehidupan akhirat, ia didatangi oleh segerombol malaikat dari langit. Wajah mereka putih bercahaya bak matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga. Selanjutnya mereka akan duduk sejauh mata memandang dari orang tersebut. Pada saat itulah Malaikat Maut 'alaihissalam menghampirinya dan duduk didekat kepalanya. Setibanya Malaikat Maut, ia segera berkata: "Wahai jiwa yang baik,bergegas keluarlah dari ragamu menuju kepada ampunan dan keridhaan Allah". Segera ruh orang mukmin itu keluar dengan begitu mudah dengan mengalir bagaikan air yang mengalir dari mulut guci. Begitu ruhnya telah keluar, segera Malaikat maut menyambutnya. Dan bila ruhnya telah berada di tangan Malaikat Maut, para malaikat yang telah terlebih dahulu duduk sejauh mata memandang tidak membiarkanya sekejappun berada di tangan Malaikat Maut. Para malaikat segera mengambil ruh orang mukmin itu dan membungkusnya dengan kain kafan dan wewangian yang telah mereka bawa dari surga. Dari wewangian ini akan tercium semerbak bau harum, bagaikan bau minyak misik yang paling harum yang pernah ada di dunia. Selanjutnya para malaikat akan membawa ruhnya itu naik ke langit. Tidaklah para malaikat itu melintasi segerombolan malaikat lainnya, melainkan mereka akan bertanya: "Ruh siapakah ini, begitu harum." Malaikat pembawa ruh itupun menjawab: Ini adalah arwah Fulan bin Fulan (disebut dengan namanya yang terbaik yang dahulu semasa hidup di dunia ia pernah dipanggil dengannya)."

Saudaraku! Walau demikian mudah arwah orang mukmin keluar dari raganya, akan tetapi bukan berarti bebas dari rasa sakit! Sekali-kali tidak.

Adakah keraguan pada diri anda bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang mukmin yang paling sempurna keimanannya? Akan tetapi kemulian dan kesempurnaan iman beliau tidak dapat melindungi beliau dari rasa pedihnya sakaratul maut. Oleh karena itu, tatkala beliau menghadapi sakaratul maut, beliau begitu gundah. Beliau berusaha menenangkan dirinya dengan mengusap wajahnya dengan tangannya yang telah dicelupkan ke dalam bejana berisi air. Beliau mengusap wajahnya berkali-kali, sambil bersabda:

(لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ) رواه البخاري

"Tiada Tuhan Yang berhak diibadahi selain Allah. Sesungguhnya kematian itu disertai oleh rasa pedih." [Riwayat Imam Bukhari]

Pada suatu hari sahabat Umar bin Al Khatthab Radhiyallahu 'anhu bertanya kepada Ka'ab Al Ahbaar:

يا كعب حدثنا عن الموت، قال: يا أمير المؤمنين غصن كثير الشوك يدخل في جوف الرجل فتأخذ كل شوكة بعرق يجذبه رجل شديد الجذب، فأخذ ما أخذ، وأبقى ما أبقى.

"Wahai Ka'ab: Ceritakan kepada kita tentang kematian!. Ka'ab pun berkata: Wahai Amirul Mukminin! Gambaran sakitnya kematian adalah bagaikan sebatang dahan yang banyak berduri tajam, tersangkut di kerongkongan anda, sehingga setiap duri menancap di setiap syarafnya. Selanjutnya dahan itu sekonyong-konyong ditarik dengan sekuat tenaga oleh seorang yang gagah perkasa. Bayangkanlah, apa yang akan turut tercabut bersama dahan itu dan apa yang akan tersisa!" [Riwayat Abu Nu'aim Al Asfahani dalam kitabnya Hilyatul Auliya']

شداد بن أوس الموت افظع هول في الدنيا والآخرة على المؤمن وهو أشد من نشر بالمناشير وقرض بالمقاريض وغلي في القدور. ولو أن الميت نشر فأخبر أهل الدنيا بالموت ما انتفعوا بعيش ولا لذوا بنوم

Syaddaad bin Al Aus berkata: "Kematian adalah pengalaman yang paling menakutkan bagi seorang mukmin, baik di dunia ataupun di akhirat. Kematian itu lebih menyakitkan dibanding anda digergaji, atau dipotong dengan gunting, atau direbus dalam periuk. Andai ada seseorang yang telah mati diizinkan untuk menceritakan tentang apa yang ia rasakan pada saat menghadapi kematian, niscaya mereka tidak akan pernah bisa menikmati kehidupan dan juga tidak akan pernah tidur nyenyak."

Bila demikian dahsyatnya rasa sakit yang menimpa seorang mukmin ketika menghadapi sakaratul maut, maka bagaimana dengan diri anda? Betapa banyak dosa dan kemaksiatan yang menodai lembaran amal anda? Anda ingin tahu bagaimana rasanya sakaratul maut bila anda tidak segera bertaubat dari kemaksiatan dan beristiqamah dalam ketaatan? Simaklah kelanjutan hadits riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah di atas:

وَإِنَّ الْعَبْدَ الْكَافِرَ وفي رواية وَإِذَا كَانَ الرَّجُلُ السُّوءُ إِذَا كَانَ فِى انْقِطَاعٍ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مِنَ السَّمَاءِ مَلاَئِكَةٌ سُودُ الْوُجُوهِ مَعَهُمُ الْمُسُوحُ فَيَجْلِسُونَ مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَجِىءُ مَلَكُ الْمَوْتِ حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَيَقُولُ أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْخَبِيثَةُ اخْرُجِى إِلَى سَخَطٍ مِنَ اللَّهِ وَغَضَبٍ - قَالَ - فَتُفَرَّقُ فِى جَسَدِهِ فَيَنْتَزِعُهَا كَمَا يُنْتَزَعُ السَّفُّودُ مِنَ الصُّوفِ الْمَبْلُولِ فَيَأْخُذُهَا فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوهَا فِى يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَجْعَلُوهَا فِى تِلْكَ الْمُسُوحِ وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَنْتَنِ رِيحِ جِيفَةٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ فَيَصْعَدُونَ بِهَا فَلاَ يَمُرُّونَ بِهَا عَلَى مَلأٍ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ إِلاَّ قَالُوا مَا هَذَا الرُّوحُ الْخَبِيثُ فَيَقُولُونَ فُلاَنُ بْنُ فُلاَنٍ بِأَقْبَحِ أَسْمَائِهِ الَّتِى كَانَ يُسَمَّى بِهَا فِى الدُّنْيَا رواه أحمد وابن ماجة وصححه الألباني

"Bila orang kafir, pada riwayat lain: Bila orang jahat hendak meninggal dunia dan memasuki kehidupan akhirat, ia didatangi oleh segerombol malaikat dari langit. Mereka berwajahkan hitam kelam, membawa kain yang kasar, dan selanjutnya mereka duduk darinya sejauh mata memandang. Pada saat itulah Malaikat Maut 'alaihissalam menghampirinya dan duduk didekat kepalanya. Setibanya Malaikat Maut, ia segera berkata: "Wahai jiwa yang buruk, bergegas engkau keluarlah dari ragamu menuju kepada kebencian dan kemurkaan Allah". Segera ruh orang jahat itu menyebar keseluruh raganya. Tanpa menunda-nunda malaikat maut segera mencabut ruhnya dengan keras, bagaikan mencabut kawat bergerigi dari bulu domba yang basah. Begitu ruhnya telah keluar, segera Malaikat Maut menyambutnya. Dan bila ruhnya telah berada di tangan Malaikat Maut, para malaikat yang telah terlebih dahulu duduk sejauh mata memandang tidak membiarkanya sekejappun berada di tangannya. Para malaikat segera mengambil ruh orang jahat itu dan membukusnya dengan kain kasar yang mereka bawa. Dari kain itu tercium aroma busuk bagaikan bau bangkai paling menyengat yang pernah tercium di dunia. Selanjutnya para malaikat akan membawa ruh itu naik ke langit. Tidaklah para malaikat itu melintasi segerombolan malaikat lainnya, melainkan mereka akan bertanya: "Ruh siapakah ini, begitu buruk." Malaikat pembawa ruh itupun menjawab: Ini adalah arwah Fulan bin Fulan (disebut dengan namanya yang terburuk yang dahulu semasa hidup di dunia ia pernah dipanggil dengannya)."

Saudaraku! Coba anda ingat kembali, rasa pedih dan sakit yang pernah anda rasakan ketika tertusuk atau tersengat api! Sangat menyakitkan bukan? Padahal syaraf yang merasakan rasa sakit hanyalah sebagiannya. Walau demikian, rasanya begitu menyakitkan, sehingga susah untuk dilupakan?

Nah bagaimana halnya bila kelak pada saat sakaratul maut seluruh syaraf anda merasakan sakit. Disaat ruh anda berusaha berpegangan erat-erat dengan setiap syaraf anda sedangkan Malaikat Maut mencabutnya dengan keras dan kuat. Betul-betul menyakitkan.

Penampilan Rasa Malaikat Maut yang begitu seram dan menakutkan akan semakin menambah pedih rasa sakit yang anda rasakan.

Saudaraku! Siapkah anda menjalani pengalaman yang begitu menakutkan dan begitu menyakitkan?

Bila saudara tidak kuasa menjalani sakaratul maut yang sangat menyakitkan seperti ini, maka mengapa noda-noda maksiat terus mengotori lembaran amal dan menghitamkan hati anda? Mengapa kaki anda terasa kaku, tangan serasa terbelenggu, mata seakan melekat dan pintu hati seakan terkunci ketika ada seruan beribadah kepada Allah?

Saudaraku! Agar hati anda kembali menjadi lunak dan pintu hati anda terbuka lebar-lebar untuk menerima dan mengamalkan kebenaran, maka alangkah baiknya bila anda sering-sering berziarah ke kuburan. Dengan berziarah ke kuburan, diharapkan anda akan senantiasa menyadari, cepat atau lambat anda pasti menjadi salah seorang dari penghuni kuburan.

(زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ) رواه مسلم

"Berziarahlah ke kuburan, karena ziarah ke kuburan itu dapat mengingatkan kalian akan kematian." [Riwayat Muslim].

Saudaraku! Ada satu pertanyaan yang tidak mungkin anda temukan jawabannya sebelum anda mengalaminya sendiri: Termasuk golongan manakah diri anda, apakah termasuk golongan orang-orang mukmin yang dimudahkan ketika menghadapi sakaratul maut ataukah termasuk golongan yang kedua?

Karenanya, marilah kita berjuang, dan berdoa memohon kepada Allah agar diri kita –dengan rahmat dan kemurahan Allah- dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang mendapatkan keteguhan dan kemudahan ketika menghadapi Malaikat Maut dimudahkan. Amiin.

[Penulis : Muhammad Arifin Badri MA adalah Kandidat doktor Universitas Islam Madinah, Madinah - Saudi Arabia]

Sabtu, 08 Januari 2011

Beberapa Cara Shalat Malam

Bagaimana Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melaksanakan shalat malam? Berapa rakaat Beliau melaksanakannya?
Beberapa Cara Shalat Malam yang dikerjakan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam

Untuk melengkapi pembahasan ini kami nukilkan keterangan Syaikh Al-Albani (terjemahan) yang berjudul Kelemahan Riwayat Tarawih 20 Rakaat, penerbit DATANS, Bangil (pen.)

Dari hadits-hadits dan riwayat yang ada dapat disimpulkan bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam dan witir lengkap berbagai cara:


1. Shalat 13 rakaat dan dimulai dengan 2 rakaat yang ringan.

Berkenaan dengan ini ada beberapa riwayat:

A. Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani bahwasanya berkata: Aku perhatikan shalat malam Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Yaitu (ia) shalat dua rakaat yang ringan, kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat.(Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr)

B. Hadits Ibnu Abbas, ia berkata: Saya pernah bermalam di kediaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam suatu malam, waktu itu beliau di rumah Maimunah radliyallahu anha. Beliau bangun dan waktu itu telah habis dua pertiga atau setengah malam, kemudian beliau pergi ke tempat yang ada padanya air, aku ikut berwudlu bersamanya, kemudian beliau berdiri dan aku berdiri di sebelah kirinya maka beliau pindahkan aku ke sebelah kanannya. Kemudian meletakkan tangannya di atas kepalaku seakan-akan beliau memegang telingaku, seakan-akan membangunkanku, kemudian beliau shalat dua rakaat yang ringan. Beliau membaca Ummul Qur’an pada kedua rakaat itu, kemudian beliau memberi salam kemudian beliau shalat hingga sebelas rakaat dengan witir, kemudian tidur. Bilal datang dan berkata: Shalat Ya Rasulullah! Maka beliau bangun dan shalat dua rakaat, kemudian shalat mengimami orang-orang. (HR. Abu Dawud dan Abu ‘Awanah dalam kitab Shahihnya. Dan asalnya di Shahihain)

Ibnul Qayim juga menyebutkan hadits ini di Zadul Ma`ad 1:121 tetapi Ibnu Abbas tidak menyebut bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan sebagaimana yang disebutkan Aisyah.

C. Hadits Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila bangun malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan, kemudian shalat delapan kemudian berwitir.

Pada lafadh lain: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya, kemudian menambah dengan dua rakaat, aku telah siapkan siwak dan air wudhunya dan berwudlu kemudian shalat dua rakaat, kemudian bangkit dan shalat delapan rakaat, beliau menyamakan bacaan antara rakaat-rakaat itu, kemudian berwitir pada rakaat yang ke sembilan. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sudah berusia lanjut dan gemuk, beliau jadikan yang delapan rakaat itu menjadi enam rakaat kemudian ia berwitir pada rakaat yang ketujuh, kemudian beliau shalat dua rakaat dengan duduk, beliau membaca pada dua rakaat itu Qul ya ayyuhal kafirun dan Idza zulzilat.

Penjelasan.
Dikeluarkan oleh Thahawi 1/156 dengan dua sanad yang shahih. Bagian pertama dari lafadh yang pertama juga dikeluarkan oleh Muslim 11/184; Abu Awanah 1/304, semuanya diriwayatkan melalui jalan Hasan Al-Bashri dengan mu`an`an, tetapi Nasai meriwayatkannya (1:250) dan juga Ahmad V:168 dengan tahdits. Lafadh kedua ini menurut Thahawi jelas menunjukan bahwa jumlah rakaatnya 13, ini menunjukan bahwa perkataannya di lafadh yang pertama kemudian ia berwitir maksudnya tiga rakaat. Memahami seperti ini gunanya agar tidak timbul perbedaan jumlah rakaat antara riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah.

Kalau kita perhatikan lafadh kedua, maka di sana Aisyah menyebutkan dua rakaat yang ringan setelah shalat Isya’nya, tetapi tidak menyebutkan adanya shalat ba’diyah Isya. Ini mendukung kesimpulan penulis di uraian terdahulu bahwa dua rakaat yang ringan itu adalah sunah ba`diyah Isya.


2. Shalat 13 rakaat, yaitu 8 rakaat (memberi salam setiap dua rakaat) ditambah lima rakaat witir, yang tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir.

Tentang ini ada riwayat dari Aisyah sebagai berikut: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian berwudhu, kemudian shalat delapan rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian berwitir dengan lima rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan tidak memberi salam kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika muadzin beradzan, beliau bangkit dan shalat dua rakaat yang ringan.

Penjelasan
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad II:123, 130, sanadnya shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim. Dikeluarkan juga oleh Muslim II:166; Abu Awanah II:325, Abu Daud 1:210; Tirmidzi II:321 dan beliau mengesahkannya. Juga oleh Ad-Daarimi 1:371, Ibnu Nashr pada halaman 120-121; Baihaqi III:27; Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla III:42-43.

Semua mereka ini meriwayatkan dengan singkat, tidak disebut padanya tentang memberi salam pada tiap dua rakaat, sedangkan Syafi’i 1:1/109, At-Thayalisi 1:120 dan Hakim 1:305 hanya meriwayatkan tentang witir lima rakaat saja.

Hadits ini juga mempunyai syahid dari Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Abu Dawud 1:214 daan Baihaqi III:29, sanad keduanya shahih.

Kalau kita lihat sepintas lalu, seakan-akan riwayat Ahmad ini bertentangan dengan riwayat Aisyah yang membatas bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas rakaat, sebab pada riwayat ini jumlah yang dikerjakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat + 2 rakaat qabliyah Shubuh.

Tetapi sebenarnya kedua riwayat ini tidak bertentangan dan dapat dijama’ seperti pad uraian yang lalu.

Kesimpulannya dari 13 rakaat itu, masuk di dalamnya 2 rakaat Iftitah atau 2 rakaat ba’diyah Isya.

3. Shalat 11 rakaat dengan memberi salam setiap dua rakaat dan berwitir 1 rakaat.

Dasarnya hadits Aisyah berikut ini: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat pada waktu antara selesai shalat Isya, biasa juga orang menamakan shalat ‘atamah hingga waktu fajar, sebanyak 11 rakaat, beliau memberi salam setiap dua rakaat dan berwitir satu rakaat, beliau berhenti pada waktu sujudnya selama seseorang membaca 50 ayat sebelum mengangkat kepalanya.

Penjelasan:
Diriwayatkan oleh Muslim II:155 dan Abu Awanah II:326; Abu Dawud I:209; Thahawi I:167; Ahmad II:215, 248. Abu Awanah dan Muslim juga meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, sedangkan Abu Awanah juga dari Ibnu Abbas.
Mendukung riwayat ini adalah Ibnu Umar juga: Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang shalat malam, maka sabdanya: Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Kalau seseorang daripada kamu khawatir masuk waktu Shubuh, cukup dia shalat satu rakaat guna menggajilkan jumlah rakaat yang ia telah kerjakan.

Riwayat Malik I:144, Abu Awanah II:330-331, Bukhari II:382,385, MuslimII:172. Ia menambahkan (Abu Awanah): Maka Ibnu Umar ditanya: Apa yang dimaksud dua rakaat - dua rakaat itu? Ia menjawab: Bahwasanya memberi salam di tiap dua rakaat.

4. Shalat 11 rakaat yaitu dengan 4 rakaat satu salam, empat rakaat salam lagi, kemudian tiga rakaat.

Haditsnya adalah riwayat Bukhari Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Menurut dhahir haditsnya, beliau duduk di tiap-tiap dua rakaat tetapi tidak memberi salam, demikianlah penafsiran Imam Nawawi.

Yang seperti ini telah diriwayatkan dalam beberapa hadits dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak memberi salam antara dua rakaat dan witir, namun riwayat-riwayat itu lemah, demikianlah yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Nashr, Baihaqi dan Nawawi.

5. Shalat 11 rakaat dengan perincian 8 rakaat yang belaiu tidak duduk kecuali pada rakaat kedelapan tersebut, maka beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, selanjutnya beliau witir satu rakaat, kemudian memberi salam.

Dasarnya adalah hadits Aisyah radliallahu `anha, diriwayatkan oleh Sa’ad bin Hisyam bin Amir. Bahwasanya ia mendatangi Ibnu Abbas dan menanyakan kepadanya tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam maka Ibnu Abbas berkata: Maukah aku tunjukan kepada kamu orang yang paling mengetahui dari seluruh penduduk bumi tentang witirnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: Ia bertanya siapa dia? Ia berkata: Aisyah radlillahu anha, maka datangilah ia dan tanya kepadanya: Maka aku pergi kepadnya, ia berkata: Aku bertanya; Hai Ummul mukminin khabarkan kepadaku tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, Ia menjawab: Kami biasa menyiapkan siwak dan air wudlunya, maka ia bersiwak dan berwudlu dan shalat sembilan rakaat tidak duduk padanya kecuali pada rakaat yang kedelapan, maka ia mengingat Allah dan memuji-Nya dan bershalawat kepada nabi-Nya dan berdoa, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, kemudian berdiri dan shalat (rakaat) yang kesembilan, kemudian belaiu duduk dan mengingat Allah dan memujinya (attahiyat) dan bershalawat atas nabi-Nya shallallahu `alaihi wa sallam dan berdoa, kemudian memberi salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami, kemudian shalat dua rakat setelah beliau memberi salam, dan beliau dalam keadaan duduk, maka yang demikian jumlahnya sebelas wahai anakku, maka ketika Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menjadi gemuk, beliau berwitir tujuh rakaat, beliau mengerjakan di dua rakaat sebagaimana yang beliau kerjakan (dengan duduk). Yang demikian jumlahnya sembilan rakaat wahai anakku.

Penjelasan
Diriwayatkan oleh Muslim II:169-170, Abu Awanah II:321-325, Abu Dawud I:210-211, Nasai I/244-250, Ibnu Nashr halaman 49, Baihaqi III:30 dan Ahmad VI:53,54,168.

6. Shalat 9 rakaat, dari jumlah ini, 6 rakaat beliau kerjakan tanpa duduk (attahiyat) kecuali pada rakaat yang keenam tersebut, beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi shallallahu `alaihi wa sallam kemudian beliau bangkit dan tidak memberi salam sedangkan beliau dalam keadaan duduk.


Yang menjadi dasar adalah hadits Aisyah radiyallahu anha seperti telah disebutkan pada cara yang kelima.
Itulah cara-cara shalat malam dan witir yng pernah dikerjakan rasulullah, cara yang lain dari itu bisa juga ditambahkan yang penting tidak melebihi sebelas rakaat. Adapun kurang dari jumlah itu tidak dianggap menyalahi karena yang demikian memang dibolehkan, bahkan berwitir satu rakaatpun juga boleh sebagaimana sabdanya yang lalu:
....Maka barang siapa ingin maka ia boleh berwitir 5 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir 3 rakaat, dan barangsiapa ingin a boleh berwitir dengan satu rakaat.

Hadits di atas merupakan nash boleh ia berwitir dengan salah saatu dari rakaat-rakaat tersebut, hanya saja seperti yang dinyatakan hadits Aisyah bahwasaya beliau tidk berwitir kurang dari 7 rakaat.

Tentang witir yang lima rakaat dan tiga rakaat dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a. Dengan sekali duduk dan sekali salam
b. Duduk attahiyat setiap dua rakaat
c. Memberi salam setiap dua rakaat

Al-Hafidh Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam kitab Qiyamul Lail halaman 119 mengatakan:
Cara yang kami pilih untuk mengerjakan shalat malam, baik Ramadlan atau lainnya adalah dengan memberi salam setiap dua rakaat. Kalau seorang ingin mengerjakan tiga rakaat, maka di rakaat pertama hendaknya membaca surah Sabbihisma Rabbikal A’la dan pada rakaat kedua membaca surah Al-Kafirun, dan bertasyahud dirakaat kedua kemudian memberi salam. Selanjutya bangkit lagi dan shalat satu rakaat, pada rakaat ini dibaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlash, Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas), setelah itu beliau (Muhammad bin Nashr) menyebutkan cara-cara yang telah diuraikan terdahulu.

Semua cara-cara tersebut boleh dilakukan, hanya saja kami pilih cara yang disebutkan di atas karen didasarkan pada jawaban Nabi shallallahu `alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shalat malam, maka beliau menjawab: bahwa shalat malam itu dua rakaat dua rakaat, jadi kami memilih cara seperti yang beliau pilih.

Adapun tentang witir yang tiga rakaat, tidak kami dapatkan keterangan yang pasti dan terperinci dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau tidak memberi salam kecuali pada rakat yang ketiga, seperti yang disebutkan tentang Witir lima rakaat, tujuh dan sembilan rakaat. Yang kami dapati adalah bahw beliau berwitir tiga rakaat dengan tidak disebutkan tentang salam sedangkan tidak disebutkan itu tidak dapat diartikan bahwa beliau tidak mengerjakan, bahkan mungkin beliau melakukannya.

Yang jelas tentang pelaksanaan yang tiga rakaat ini mengandung beberapa ihtimaalat (kemungkinan), diantaranya kemungkinan beliau justru memberi salam, karena demikialah yang kami tafsirkan dari shalat beliau yang sepuluh rakaat, meskipun di sana tidak diceritakan tentang adanya salam setiap dua rakaat, tapi berdasar keumuman sabdanya bahwa asal shalat malam atau siang itu adalah dua rakaat, dua rakaat.

Sedangkan hadits Ubai bin Ka’ab yang sering dijadikan dasar tidak adanya salam kecuali pada rakaat yang ketiga (laa yusallimu illa fii akhirihinna), ternyata tambahan ini tidak dapat dipakai, karena Abdul Aziz bin Khalid bersendiri dengan tambahan tersebut, sedangkan Abdul Aziz ini, tidak dianggap tsiqah oleh ulama Hadits. Dalam at-Taqrib dinyatakan bahwa dia maqbul apabila ada mutaba’ah (hadits lain yang mengiringi), kalau tidak ia termasuk Layyinul Hadits. Di samping itu tambahan riwayatnya menyalahi riwayat dari Sa’id bin Abi Urubah yang tanpa tambahan tersebut. Ibnu Nashr, Nasai dan Daruqutni juga meriwayatkan tanpa tambahan. Dengan ini, jelas bahwa tambahan tersebut adalah munkar dan tidak dapat dijadikan hujjah.

Tapi walaupun demikian diriwayatkan bahwa shahabat-shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan witir tiga rakaat dengan tanpa memberi salam kecuali pada rakaat yang terakhir dan ittiba’ kepada mereka ini lebih baik baik daripada mengerjakan yang tidak dicontohkan.

Dari sisi lain perlu juga diketengahkan bahwa terdapat banyak riwayat baik dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, para shahabat ataupun tabi’in yaang menunjukan tidak disukainya shalat witir tiga rakaat, diantaranya: Janganlah engkau mengerjakan witir tiga rakaat yang menyerupai Maghrib, tetapi hendaklah engkau berwitir lima rakaat (HR. Al-Baihaqi).
Hadits ini tidak dapat dipakai karena mempunyai kelemahan pada sanadnya, tapi Thahawi meriwayatkan hadits ini melalui jalan lain dengan sanad yang shahih. Adapun maksudnya adalah melarang witir tiga rakaat apabila menyerupai Maghrib yaitu dengan dua tasyahud, namun kalau witir tiga rakaat dengan tidak pakai tasyahud awwal, maka yang demikian tidak dapat dikatakan menyerupai. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II:385 dan dianggap baik oleh Shan’aani dalam Subulus Salam II:8.

Kesimpulan dari yang kami uraikan di atas bahwa semua cara witir yang disebutkan di atas adalah baik, hanya perlu dinyatakan bahwa witir tiga rakaat dengan dua kali tasyahhud tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahkan yang demikian tidak luput dari kesalaahan, oleh karenanya kami memilih untuk tidak duduk di rakaat genap (kedua), kalau duduk berarti memberi salaam, dan cara ini adalah yang lebih utama

sumber : almanhaj.or.id - Berjalan Di Atas Manhaj As-Salaf Ash-Shalih

Kamis, 06 Januari 2011

Nonton Bola di GBK, Tidak Shalat Maghrib?

Pertandingan biasanya dimulai pukul 19.00 atau jam 7 malam. Tetapi para penonton harus sudah masuk ke dalam stadion beberapa jam sebelumnya, agar kebagian tempat duduk. Yang jadi masalah, dimanakah mereka melaksanakan shalat maghrib, padahal jumlah mereka mencapai 70 ribuan orang?

Seandainya semua turun ke lapangan dan shalat berjamaah, rasanya lapangan bola itu pun tidak muat menampungnya. Lagian yang juga perlu dipikirkan, bagaimana dengan antrian wudhu`-nya, pasti panjang sekali.

Sementara kita tahu bahwa waktu shalat Maghrib itu sedikit sekali, yaitu sejak matahari terbenam hingga hilangnya mega merah di ufuk barat. Menuurt jadwal, pada tanggal 29 Desember pas final Timnas piala AFF, terjadwal waktu Maghrib jatuh jam 18.08 wib.

Ini berarti, kalau seorang penonton bola sudah berwudhu` sebelumnya dan sudah siap untuk shalat Maghrib, dia hanya punya waktu kurang dari 1 jam untuk melaksanakan shalat.

Kalau jumlah orang yang shalat itu 10 atau 20 orang, rasanya tidak masalah. Tetapi kalau yang harus shalat itu 70 ribu orang, di tempat yang sama dalam rentang waktu hanya 50-an menit saja, maka hitung-hitungan di atas kertas, rasanya sulit bisa terlaksana.

Lalu apakah hanya lantaran mau nonton bola di stadion kita rela tidak shalat Maghrib? Padahal shalat Maghrib termasuk salah satu rukun Islam, yang apabila ditinggalkan dengan sengaja, bukan hanya dosa besar, tetapi mendapatkan murka besar dari Allah. Apalagi alasannya cuma sekedar mau nonton bola.

Jama` Shalat Maghrib

Ada seorang murid pengajian yang bertanya,"Ustadz, bukannya shalat Maghrib boleh dijama`? Kan agama ini mudah dan tidak menyusahkan?".

Temannya yang duduk di sampingnya langsung menyikutnya seraya berkomentar,"Hus, menjama` shalat itu ada aturannya, masak nonton bola boleh jadi alasan buat menjama`?".

Ya, menjama` shalat sih memang disyariatkan, tetapi dari semua penyebab kebolehannya, seperti safar, sakit, haji, bencana dan lainnya, tidak ada satu pun yang judulnya nonton bola atau main bola.

Kecuali bila yang nonton itu berstatus musafir, misalnya mereka asalnya dari luar kota yang minimal berjarak 90-an Km. Kalau penonton dari Bandung, Jogja, Surabaya dan sejenisnya, tentu boleh menjama` shalat di Jakarta, karena status mereka sebagai musafir.

Shalat Ashar Ikut Terancam Juga

Sebenarnya yang terancam akan terlewat bukan hanya shalat Maghrib, tetapi juga shalat Ashar. Sebab kalau melihat kenyataannya, para penonton bola di GBK itu tidak berangkat dari rumah setelah shalat Ashar.

Ini bukan nonton bioskop di mal yang bisa datang kapan saja karena studionya tidak cuma satu dan filmnya diputar ulang tiap 1,5 jam setiap hari. Tetapi ini sebuah perhelatan besar yang terkait dengan kemacetan parah yang melanda jalan-jalan ibukota, khususnya di seputar Senayan. Tiketnya pun tidak murah, belinya pakai antri seharian sambil rebutan.

Maka semua penonton pasti sudah bersiap-siap sejak pagi hari bahkan, sekedar untuk bisa masuk stadion tanpa terhambat atau terlambat. Dan justru disitulah masalahnya, lalu puluhan ribu penonton itu pada shalat Ashar dimana ya?

Saya khawatir jangan-jangan memang para penonton itu kurang peduli dengan urusan shalat, bukan karena sekedar bela-belain nonton pertandingan langsung di stadion. Jangan-jangan dalam kesehariannya, semoga tidak benar asumsi ini, memang pada kurang serius dalam urusan shalat wajib ini.

Buktinya, tiap sore menjelang Maghrib, jalan di dekat rumah saya itu selalu macet parah dua arah. Maklumlah, di jantung jalan Satrio itu ada dua mal besar yang menyedot banyak pengunjung tanpa jembatan penyeberangan. Tak terhitung jumlah kendaran yang bermacet-macet disitu, kalau cuma seribu sih rasanya lebih.

Di dalam mal sendiri, pengunjung pun membeludak pada jam-jam Maghrib itu, melebihi jam lainnya. Mungkin pas dengan jam orang pulang kantor.

Tempat shalat bukannya tidak ada, pemilik mal memang menyediakannya, bahkan bukan hanya satu tetapi ada beberapa lokasi. Tetapi yang saya tahu persisi, ukurannya terlalu sempit, paling banyak hanya muat 10 atau 20 orang saja, itu pun wudhu`nya harus antri panjang.

Kalau sekali shalat butuh waktu 10 menit, maka mushalla mungil itu maksimal hanya bisa untuk menampung 200 orang untuk Shalat Maghrib, karena durasi waktu Maghrib hanya 60-an menit saja. Angaplah ada 5 mushalla, maka maksimal yang bisa ditampung hanya 1.000-an orang saja.

Padahal jumlah pengunjung mal itu bisa beribu-ribu jumlahnya. Artinya, kalau semua pengunjung mal itu muslim dan punya perhatian serius dengan urusan shalat fardhu, tetap saja tempatnya tidak muat.

Tetapi yang saya perhatikan, kebanyakannya memang pada tidak shalat, walau pun mengaku beragama Islam. Alasan yang paling klasik antara lain, nanti saja sekalian dijama`, atau alasan ragu-ragu pakaiannya takut najis, atau selusin alasan lainnya yang -terus terang saja- memang `sangat kreatif`.

Hal yang sama juga sering saya perhatikan di perjalanan, seperti kereta api jarak jauh atau bus malam. Untuk shalat Shubuh, biasanya para penumpang lebih memilih untuk tidak shalat. Yang shalat di atas kendaraan memang ada, tetapi jumlahnya cuma satu dua orang saja. Itu pun kalau mau shalat, biasanya celingukan dulu tengok kanan kiri, entah karena malu, sungkan atau kurang pe-de.

Padahal kalau urusan kurang pe-de, seharusnya yang tidak pe-de itu justru yang tidak shalat. Tetapi yang terjadi malah terbalik, yang mau shalat malah tidak pe-de.

Padahal, sabda Nabi SAW masih jelas terngiang :

Amal seorang hamba yang akan dihisab pertama kali di hari kiamat adalah shalatnya.

Susah nanti kita menjawabnya, ketika diabsen oleh malaikat tentang shalat kita di akhirat, kenapa tanggal 29 Desember 2010 tidak shalat Maghrib? Masak sih kita jawab, wah sory banget, soalnya waktu itu lagi nonton bola.

Ups, wrong answer!!

Jangan protes kalau kita habis itu langsung digebukin malaikat adzab. Lagian, masak cuma alasan nonton bola sampai tidak shalat? Nalarnya nggak nyambung.

sumber:
http://www.ustsarwat.com/web/berita-97-nonton-bola-di-gbk-tidak-shalat-maghrib.html

Mengenal Makanan Haram

Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi makanan haram. Rasulullah bersabda: “Dari Abu Hurairah ra berkata : Rasulullah saw bersabda: ” Sesungguhnya Allah baik tidak menerima kecuali hal-hal yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mu’min sebagaimana yang diperintahkan kepada para rasul, Allah berfirman: “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Dan firmanNya yang lain: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu” Kemudian beliau mencontohkan seorang laki-laki, dia telah menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut serta berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit: Yaa Rabbi ! Yaa Rabbi ! Sedangkan ia memakan makanan yang haram, dan pakaiannya yang ia pakai dari harta yang haram, dan ia meminum dari minuman yang haram, dan dibesarkan dari hal-hal yang haram, bagaimana mungkin akan diterima do’anya”. (HR Muslim no. 1015).
Jenis Makanan HARAM:
1. BANGKAI
Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Bangkai ada beberapa macam sbb :
A. Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja atau tidak.
B. Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik.
C. Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau jatuh ke dalam sumur sehingga mati.
D. An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim 3/22 oleh Imam Ibnu Katsir).
Sekalipun bangkai haram hukumnya tetapi ada yang dikecualikan yaitu bangkai ikan dan belalang berdasarkan hadits:
“Dari Ibnu Umar berkata: ” Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa.” (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan hal 27 edisi 4/Th.11)
Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda:
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”: (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan 26 edisi 3/Th 11) Syaikh Muhammad Nasiruddin Al–Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (no.480): “Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun terapung di atas air (laut)? Beliau menjawab: “Sesungguhnya yang terapung itu termasuk bangkainya sedangkan Rasulullah bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” (HR. Daraqutni: 538).
Adapun hadits tentang larangan memakan sesuatu yang terapung di atas laut tidaklah shahih. (Lihat pula Al-Muhalla (6/60-65) oleh Ibnu Hazm dan Syarh Shahih Muslim (13/76) oleh An-Nawawi).
2. DARAH
Yaitu darah yang mengalir sebagaimana dijelaskan dalam ayat lainnya:
“Atau darah yang mengalir” (QS. Al-An’Am: 145) Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa’id bin Jubair. Diceritakan bahwa orang-orang jahiliyyah dahulu apabila seorang diantara mereka merasa lapar, maka dia mengambil sebilah alat tajam yang terbuat dari tulang atau sejenisnya, lalu digunakan untuk memotong unta atau hewan yang kemudian darah yang keluar dikumpulkan dan dibuat makanan/minuman. Oleh karena itulah, Allah mengharamkan darah pada umat ini. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/23-24).
Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada pengecualian yaitu hati dan limpa berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas tadi. Demikian pula sisa-sisa darah yang menempel pada daging atau leher setelah disembelih.Semuanya itu hukumnya halal.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang mengalir. Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak ada satupun dari kalangan ulama’ yang mengharamkannya”. (Dinukil dari Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461 oleh Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan).
3. DAGING BABI
Babi baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina. Dan mencakup seluruh anggota tubuh babi sekalipun minyaknya. Tentang keharamannya, telah ditandaskan dalam al-Qur’an, hadits dan ijma’ ulama.
4. SEMBELIHAN UNTUK SELAIN ALLAH
Yakni setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram, karena Allah mewajibkan agar setiap makhlukNya disembelih dengan nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama selain Allah baik patung, taghut, berhala dan lain sebagainya , maka hukum sembelihan tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama.
5. HEWAN YANG DITERKAM BINATANG BUAS
Yakni hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan sebagiannya kemudia mati karenanya, maka hukumnya adalah haram sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua itu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama. Orang-orang jahiliyah dulu biasa memakan hewan yang diterkam oleh binatang buas baik kambing, unta,sapi dsb, maka Allah mengharamkan hal itu bagi kaum mukminin.
Adapun hewan yang diterkam binatang buasa apabila dijumpai masih hidup (bernyawa) seperti kalau tangan dan kakinya masih bergerak atau masih bernafas kemudian disembelih secara syar’i, maka hewan tersebut adalah halal karena telah disembelih secara halal.
6. BINATANG BUAS BERTARING
Hal ini berdasarkan hadits : “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: “Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan” (HR. Muslim no. 1933)
Perlu diketahui bahwa hadits ini mutawatir sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/118-119) Maksudnya “dziinaab” yakni binatang yang memiliki taring atau kuku tajam untuk melawan manusia seperti serigala, singa,anjing, macan tutul, harimau,beruang,kera dan sejenisnya. Semua itu haram dimakan”. (Lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam Al-Baghawi).
Hadits ini secara jelas menunjukkan haramnya memakan binatang buas yang bertaring bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja adalah pendapat yang salah. (lihat At-Tamhid (1/111) oleh Ibnu Abdil Barr, I’lamul Muwaqqi’in (4-356) oleh Ibnu Qayyim dan As-Shahihah no. 476 oleh Al-Albani.
Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): “Saya tidak mengetahui persilanganpendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa kera tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui seorang ulama’pun yang membolehkan untuk memakannya. Demikianpula anjing,gajah dan seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya). Dan hujjah adalah sabda Nabi saw bukan pendapat orang….”.
Para ulama berselisih pendapat tentang musang. Apakah termasuk binatang buas yang haram ataukah tidak ? Pendapat yang rajih bahwa musang adalah halal sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Syafi’i berdasarkan hadits :
“Dari Ibnu Abi Ammar berkata: Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang musang, apakah ia termasuk hewan buruan ? Jawabnya: “Ya”. Lalu aku bertanya: apakah boleh dimakan ? Beliau menjawab: Ya. Aku bertanya lagi: Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ? Jawabnya: Ya. (Shahih. HR. Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasa’i (5/191) dan dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al- Baihaqi, Ibnu Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir (1/1507).
Lantas apakah hadits Jabir ini bertentangan dengan hadits larangan di atas? ! Imam Ibnu Qoyyim menjelaskan dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/120) bahwa tidak ada kontradiksi antara dua hadits di atas. Sebab musang tidaklah termasuk kategori binatang buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun segi urf (kebiasaan) manusia. Penjelasan ini disetujui oleh Al-Allamah Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (5/411) dan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3-28)
7. BURUNG YANG BERKUKU TAJAM
Hal ini berdasarkan hadits : Dari Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam” (HR Muslim no. 1934)
Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234): “Demikian juga setiap burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya”. Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: “Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzab Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam.”
8. KHIMAR AHLIYYAH (KELEDAI JINAK)
Hal ini berdasarkan hadits:
“Dari Jabir berkata: “Rasulullah melarang pada perang khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan daging kuda”. (HR Bukhori no. 4219 dan Muslim no. 1941) dalam riwayat lain disebutkan begini : “Pada perang Khaibar, mereka menyembelih kuda, bighal dan khimar. Lalu Rasulullah melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari kuda. (Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasa’i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272), Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah no. 2811).
Dalam hadits di atas terdapat dua masalah :
Pertama : Haramnya keledai jinak. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama setelah mereka berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas seperti di atas. Adapaun keledai liar, maka hukumnya halal dengan kesepakatan ulama. (Lihat Sailul Jarrar (4/99) oleh Imam Syaukani).
Kedua : Halalnya daging kuda. Ini merupakan pendapat Zaid bin Ali, Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan mayoritass ulama salaf berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas di atas. Ibnu Abi Syaiban meriwayatkan dengan sanadnya yang sesuai syarat Bukhari Muslim dari Atha’ bahwa beliau berkata kepada Ibnu Juraij: ” Salafmu biasa memakannya (daging kuda)”. Ibnu Juraij berkata: “Apakah sahabat Rasulullah ? Jawabnya : Ya. (Lihat Subulus Salam (4/146-147) oleh Imam As-Shan’ani).
9. AL-JALLALAH
Hal ini berdasarkan hadits :
“Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki. (HR. Abu Daud no. 2558 dengan sanad shahih).
“Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah melarang dari memakan jallalah dan susunya.” (HR. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189).
“Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya”(HR Ahmad (2/219) dan dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
Maksud Al-Jalalah yaitu setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua-yang makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manuasia/hewan dan sejenisnya. (Fahul Bari 9/648). Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf (5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau mengurung ayam yang makan kotoran selama tiga hari. (Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (11/254) juga berkata: “Kemudian menghukumi suatu hewan yang memakan kotoran sebagai jalalah perlu diteliti. Apabila hewan tersebut memakan kotoran hanya bersifat kadang-kadang, maka ini tidak termasuk kategori jalalah dan tidak haram dimakan seperti ayam dan sejenisnya…”
Hukum jalalah haram dimakan sebagaimana pendapat mayoritas Syafi’iyyah dan Hanabilah. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Ibnu Daqiq Al-’Ied dari para fuqaha’ serta dishahihkan oleh Abu Ishaq Al-Marwazi, Al-Qoffal, Al-Juwaini, Al-Baghawi dan Al-Ghozali. (Lihat Fathul Bari (9/648) oleh Ibnu Hajar).
Sebab diharamkannya jalalah adalah perubahan bau dan rasa daging dan susunya. Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan yang membuat keharamannya itu hilang, maka tidak lagi haram hukumnya, bahkan hukumnya hahal secara yakin dan tidak ada batas waktu tertentu. Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan (9/648): “Ukuran waktu boelhnya memakan hewan jalalah yaitu apabila bau kotoran pada hewan tersebut hilang dengan diganti oleh sesuatu yang suci menurut pendapat yang benar.”. Pendapat ini dikuatkan oleh imam Syaukani dalam Nailul Authar (7/464) dan Al-Albani dan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3/32).
10. AD-DHAB (HEWAN SEJENIS BIAWAK) BAGI YANG MERASA JIJIK DARINYA
Berdasarkan hadits: “Dari Abdur Rahman bin Syibl berkata: Rasulullah melarang dari makan dhab (hewan sejenis biawak). (Hasan. HR Abu Daud (3796), Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa Tarikh (2/318), Baihaqi (9/326) dan dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/665) serta disetujui oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 2390).
Benar terdapat beberapa hadits yang banyak sekali dalam Bukhari Muslim dan selainnya yang menjelaskan bolehnya makan dhob baik secara tegas berupa sabda Nabi maupun taqrir (persetujuan Nabi). Diantaranya , Hadits Abdullah bin Umar secara marfu’ (sampai pada nabi) “Dhab, saya tidak memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya.” (HR Bukhari no.5536 dan Muslim no. 1943)
11. HEWAN YANG DIPERINTAHKAN AGAMA SUPAYA DIBUNUH
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing hitam. ” (HR. Muslim no. 1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz “kalajengking: gantinya “ular” )
Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): “Setiap binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang dimakan” (Lihat pula Al-Mughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu’ Syarh Muhadzab (9/23) oleh Nawawi).
“Dari Ummu Syarik berkata bahwa Nabi memerintahkan supaya membunuh tokek/cecak” (HR. Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237). Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (6/129)” “Tokek/cecak telah disepakati keharaman memakannya”.
12. HEWAN YANG DILARANG UNTUK DIBUNUH
“Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melarang membunuh 4 hewan : semut, tawon, burung hud-hud dan burung surad. ” (HR Ahmad (1/332,347), Abu Daud (5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 4/916). Imam Syafi’i dan para sahabatnya mengatakan: “Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya.” (Lihat Al-Majmu’ (9/23) oleh Nawawi).
Haramnya hewan-hewan di atas merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu sekalipun ada perselisihan di dalamnya kecuali semut, nampaknya disepakati keharamannya. (Lihat Subul Salam 4/156, Nailul Authar 8/465-468, Faaidhul Qadir 6/414 oleh Al-Munawi). “Dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyi bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah melarang membunuhnya. (HR Ahmad (3/453), Abu Daud (5269), Nasa’i (4355), Al-Hakim (4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu Hajar dan Al-Albani).
Haramnya katak secara mutlak merupakan pendapat Imam Ahmad dan beberapa ulama lainnya serta pendapat yang shahih dari madzab Syafe’i. Al-Abdari menukil dari Abu Bakar As-Shidiq, Umar, Utsman dan Ibnu Abbas bahwa seluruh bangkai laut hukumnya halal kecuali katak (lihat pula Al-Majmu’ (9/35) , Al-Mughni (13/345), Adhwaul Bayan (1/59) oleh Syaikh As-Syanqithi, Aunul Ma’bud (14/121) oleh Adzim Abadi dan Taudhihul Ahkam (6/26) oleh Al-Bassam)
13. BINATANG YANG HIDUP DI 2 (DUA) ALAM
Sejauh ini BELUM ADA DALIL dari Al Qur’an dan hadits yang shahih yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan darat). Dengan demikian binatang yang hidup di dua alam dasar hukumnya “asal hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Berikut contoh beberapa dalil hewan hidup di dua alam :
KEPITING – hukumnya HALAL sebagaimana pendapat Atha’ dan Imam Ahmad.(Lihat Al-Mughni 13/344 oleh Ibnu Qudamah dan Al-Muhalla 6/84 oleh Ibnu Hazm).
KURA-KURA dan PENYU – juga HALAL sebagaimana madzab Abu Hurairah, Thawus, Muhammad bin Ali, Atha’, Hasan Al-Bashri dan fuqaha’ Madinah. (Lihat Al-Mushannaf (5/146) Ibnu Abi Syaibah dan Al-Muhalla (6/84).
ANJING LAUT – juga HALAL sebagaimana pendapat imam Malik, Syafe’i, Laits, Syai’bi dan Al-Auza’i (lihat Al-Mughni 13/346).
KATAK/KODOK – hukumnya HARAM secara mutlak menurut pendapt yang rajih karena termasuk hewan yang dilarang dibunuh sebagaimana penjelasan di atas.
wallohu a'lam. Semoga Bermanfaat

sumber:
www.halalguide.info/2009/03/27/​mengenal-makanan-haram

Senin, 03 Januari 2011

Gawamil Kalam Softwere Kitab Hadits Terlengkap

Satu lagi saya informasikan, sebuah softwere bahasa arab yang khusus memuat matan-matan hadits. Softwere ini berbeda dengan maktabah syamilah, karena hanya fokus pada kitab-kitab hadits. Lebih dari 1400 Kitab Hadits termuat pada softwere ini.

Keunggulan softwere ini yang saya rasakan, adalah :

* Semua matan arab bersyakal (tidak gundul)
* penggunaan warna untuk sanad dan matan yang berbeda
* adanya takrij rijal perawi, yang sangat lengkap.
* dan lain sebagainya

Anda pecinta hadits nabawi, layak memiliki softwere ini, yang bisa di download secara gratis.

System Requirements

Windows XP SP2 (Minimum) – Windows XP SP3 is recommended

Windows Vista SP2

Windows 7

Processor:

400 MHz Pentium processor or equivalent (Minimum) – 1GHz Pentium processor or equivalent (Recommended)

RAM:

256 MB (Minimum) – 1 GB (Recommended)

Hard Disk: Up to 4.2 GB of available space is required

Display: 1024 x 768 high color, 32-bit (Recommended)

Prerequests:

Windows Installer 3.1 (Minimum) (already Included in GK4.5Setup\Helper)

.Net Framework 3.5 SP1 (already Included in GK4.5Setup\Helper)

sumber:
http://kampungsunnah.org/2010/11/13/gawamil-kalam-softwere-kitab-hadits-terlengkap/

Ngaji Tafsir Online - 71 Judul Kitab (Arabic and English)

Bismillah

Koleksi kitab-kitab tafsir al-Quran al-Karim.

Sampai dengan saat ini terdapat 71 judul kitab tafsir, yang dikarang oleh para mufassir dari abad pertama sampai dengan abad ke-15 hijriah. Dari Ibn Abbas, al-Syafi'i, al-Baghowi, al-Khazin, Jalalain, Sayyid Quthb, dan masih banyak lagi.

Tersedia dalam bahasa Arabic (68) dan English (3).

Formatnya telah dirapikan sedemikian rupa, jadi kita bisa membandingkan pandangan beberapa kitab tafsir atas suatu ayat dalam al-Quran.

Insya Allah bermanfaat.


No download required. Just read it online.
(Daftar kitab yang telah tersedia, sorted by title)
No. Title Author
1. Adhwa' al-Bayan fi Tafsir al-Quran Al Syanqithi
2. Aisar al-Tafasir Al Jazairi
3. Aisar al-Tafasir As'ad Humad
4. al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid Ibn Ajibah
5. al-Bahr al-Muhith Abu Hayyan
6. al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma'tsur Al Suyuthi
7. al-Durr al-Mashun Al Dur Al Masoun
8. al-Jami' li Ahkam al-Quran Al Qurthubi
9. al-Kasyf wa al-Bayan Al Tsa'labi
10. al-Kasyaf al-Zamakhsari
11. al-Lubab fi 'Ulum al-Kitab Ibn Adil
12. al-Mizan fi Tafsir al-Quran Al Thabathabai
13. al-Muntakhab fi Tafsir al-Quran al-Karim Lajnah Quran wa sunnah
14. al-Nahr al-Maad Al Andalusi
15. al-Nukt wa al-Uyun Al Mawardi
16. al-Shafi fi Tafsir Kalam Allah al-Wafi Al-Faidh Al-Kasyani
17. al-Tafsir Ibn Arafa
18. al-Tafsir al-Kabir Al Thabrani
19. al-Tahrir wa al-Tanwir Ibn Asyur
20. al-Tas_hil li 'Ulum al-Tanzil Al Gharnati
21. al-Tibyan al-Jami' li 'Ulum al-Quran Al Thusi
22. al-Wajiz Al Wahidi
23. al-Wasith fi Tafsir al-Quran al-Karim Tanthawi
24. Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta'wil Al Baidhawi
25. Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Quran Al Buquli
26. Asbab an-Nuzul (en) Al Wahidi
27. Bahr al-Ulum Al Samarqandi
28. Fath al-Qadir Al Syaukani
29. Fi Dhilal al-Quran Sayyid Quthb
30. Gharaib al-Quran wa Raghaib al-Furqan Al-Qumi Al-Naisaburi
31. Gharib al-Quran Zaid bin Ali
32. Haqaiq al-Tafsir al Salmi
33. Himyan al-Zad ila Dar al-Ma'ad Athfisy
34. Irsyad al-'Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim Abu Al-Su'ud
35. Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Quran al-Thabari
36. Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Quran Al Thaalibi
37. Jawahir al-Tafsir Al Khalili
38. Khawathir Al Sya'rawi
39. Lathaif al-Isyarat Al Qusyairi
40. Lubab al-Ta'wil fi Ma'ani al-Tanzil Al Khazin
41. Ma'alim al-Tanzil Al Baghawi
42. Madarik al-Tanzil wa Haqaiqu al-Ta'wil Al Nasafi
43. Mafatih al-Ghaib Al Razi
44. Majma' al-Bayan fi Tafsir al-Quran Al Tabrasi
45. Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-'Aziz Ibn Atiyah
46. Mukhtash_shar Tafsir Ibnu Katsir Al Shabuni
47. Nadham al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar Al Biqa'i
48. Ruh al-Bayan fi Tafsir al-Quran Isma'il Haqqi
49. Ruh al-Ma'ani Al Alusi
50. Shafwat al-Tafasir Al Shabuni
51. Tafsir Al Aaqam
52. Tafsir Furat Al-Kufi
53. Tafsir Muqatil ibn Sulaiman
54. Tafsir al-Hubari Al Hubari
55. Tafsir al-Mujahid Mujahid Al-Makhzumi
56. Tafsir al-Quran Al Fairuzzabadi
57. Tafsir al-Quran Al Tustari
58. Tafsir al-Quran Ali bin Ibrahim Al Qummi
59. Tafsir al-Quran Ibn Abd al-Salam
60. Tafsir al-Quran Ibn Arabi
61. Tafsir al-Quran al-Karim Ibn Katsir
62. Tafsir Ayat al-Ahkam Al Shabuni
63. Tafsir Bayan al-Sa'adah fi Maqamat al-'Ibadah Al Janabidzi
64. Tafsir Jalalain Al Suyuthi, Al Mahalli
65. Tafsir Jalalain (En) Al Jalalain
66. Tafsir Kitab Allah al-'Aziz Al Hawari
67. Tafsir Shadr al-Muta'allahin Al Syairazi
68. Taisir al-Tafsir Al Qath_than
69. Taisir al-Tafsir Athfisy
70. Tanwir al-Miqbas (en) Ibn Abbas
71. Zad al-Masir Ibn Jauzi

kunjungi situsnya: www.alTafsir.com


نفعنا الله به والمؤمنين. آمين