Rabu, 29 Desember 2010

Tahukah Anda: Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah SAW Masih Hidup

Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.

Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam?

Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.

Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.

Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.

Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.

Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.

Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.

Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.

Temuan G. R Tibbets
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.

“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.

Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).

Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.

Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.

Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.

Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!

Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.

Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.

Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai (Rz/eramuslim)


Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.

Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).

Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).

Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.

Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.

Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.

Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.

Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.

Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).

Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.

Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.

Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.

Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..

Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.

“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,” ujar Mansyur yakin.

Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).

Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.

Gujarat Sekadar Tempat Singgah
Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.

Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.

Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.(Rz, Tamat/eramuslim)

Senin, 27 Desember 2010

Shalat Subuh Ujian Terberat Bagi Munafikun

_______________________________________
Hudzaifah.org - Ceritanya, suatu ketika, Dr. Raghib menemui seorang ustadz (da'i) yang ceramahnya begitu memukau dan menanyakan perihal penyebab da'i itu jarang salat Subuh berjamaah di masjid. Pertanyaan ini diajukan, setelah sebelumnya beliau mengamati langsung beberapa Hari dan ikut salat Subuh di masjid dekat rumah si da'i, namun tidak melihat sang da'i salat Subuh di situ.

Mendapat pertanyaan demikian, sang da'i dengan enteng Dan tanpa rasa malu menjawab pertanyaan Dr. Raghib: " Maafkan saya, semoga Allah mengampuni saya Dan mengampuni Anda. Kondisi saya sangat sulit. Pagi-pagi saya sudah mulai kerja, sementara tidur agak terlambat. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Mendengar jawaban seperti itu, kontan saja hati beliau bergejolak, jiwanya terasa sempit Dan tenggorokkannya terasa tersumbat.

Akhirnya, dari kejadian itu beliau termotivasi untuk segera menulis sebuah buku tentang hikmah di balik salat Subuh, yang kemudian -�atas kehendak Allah swt.-� buku itu (Misteri Salat Subuh) menjadi Best Seller.

Makna Ujian

Ungkapan lidah sering tak sesuai dengan keyakinan hati, Dan beribu ucapan tidak sesuai dengan amal perbuatan. Mukmin yang benar dan jujur adalah yang sesuai antara perkataan dengan perbuatannya. Sedangkan orang munafik, secara lahiriah kelihatan bagus Dan bersih, namun hatinya keras bagaikan batu, bahkan lebih keras lagi.

Allah swt. Maha Mengetahui apa yang terlintas dalam hati manusia. Mengetahui Mata yang tidak jujur Dan segala yang tersembunyi dalam dada. Mengetahui yang munafik dari yang mukmin, serta mengetahui yang dusta dari yang jujur.

Namun, atas kehendak-Nya, Dia berhak memberikan ujian-ujian tertentu, untuk mengetahui rahasia hati yang tersembunyi dalam setiap jiwa; serta menunjukkan siapa yang hanya berbicara tanpa melaksanakan apa yang ia katakan; atau menyakini sesuatu, tapi tidak merealisasikannya.

Tujuan ditampakkannya rahasia hati itu karena Allah swt. Ingin menegakkan hujjah (alasan) atas manusia, agar di Hari kiamat nanti tidak Ada seorang pun yang merasa terzalimi Dan teraniaya. Mereka diberi ujian, akan tetapi sebagian besar gagal dalam ujian tersebut. Lebih dari itu, melalui ujian, Allah swt. Ingin membersihkan barisan orang-orang mukmin dari orang-orang munafik. Sebab, bercampurnya orang mukmin dengan orang munafik akan melemahkan barisan, menyebabkan kegoncangan, Dan mengakibatkan kekalahan serta kehancuran.

Ujian merupakan sunnah ilahiyah Dan sebagai standar bagi semua manusia tanpa kecuali, yang berlaku sejak Adam a.s. Diciptakan hingga Hari kiamat kelak.

Allah swt. Berfirman dalam kitab-Nya: Alif lam mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: " Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar Dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS.Al-Ankabut [29]: 1-3).

Ujian dari Allah swt. Tidak sedikit jumlahnya, Dan berlaku terus-menerus sejak manusia mendapat beban syariat, sampai tibanya kematian. Jihad fisabilillah merupakan ujian, bahkan sebagai ujian yang sangat berat. Namun, bukan mustahil dilakukan karena orang-orang mukmin bisa Lulus dalam ujian itu. Sedangkan orang-orang munafik, tidak akan Lulus. Infak di jalan Allah swt. Adalah ujian. Ujian ini sulit, tetapi bukan sesuatu yang mustahil.

Orang mukmin mampu melaksanakannya, sementara orang munafik tidak akan mampu. Begitu pula, bersikap baik terhadap sesama manusia juga ujian; menahan amarah juga ujian; rida dengan hukum Allah swt. Juga ujian; berbuat baik kepada orang tua pun ujian, Dan seterusnya.

Ujian memiliki variasi tingkat kesulitan. Seorang mukmin harus Lulus dalam semua ujian itu untuk membuktikan kebenaran imannya, Dan untuk menyelaraskan antara lisan Dan hatinya.

Salat Subuh, Ujian Terberat

Inilah ujian yang sesungguhnya. Ujian yang sangat sulit, namun bukan satu hal yang mustahil. Nilai tertinggi dalam ujian ini *bagi seorang laki-laki* adalah salat Subuh secara rutin berjamaah di masjid. Sedangkan bagi wanita, salat Subuh tepat pada waktunya di rumah. Setiap orang dianggap gagal dalam ujian penting ini, manakala mereka salat tidak tepat waktu, sesuai yang telah ditetapkan Allah swt.

Sikap manusia dalam menunaikan salat wajib cukup beragam. Ada yang mengerjakan sebagian salatnya di masjid, namun meninggalkan sebagian yang lain. Ada pula yang melaksanakan salat sebelum habis waktunya, namun dikerjakan di rumah. Dan, Ada pula sebagian orang yang mengerjakan salat ketika hampir habis Batas waktunya (dengan tergesa-gesa). Yang terbaik di antara mereka adalah yang mengerjakan salat wajib secara berjamaah di mushala/masjid pada awal waktu.

Rasulullah saw. Telah membuat klasifikasi yang dijadikan sebagai tolok ukur untuk membedakan antara orang mukmin dengan orang munafik. Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., IA berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda: " Sesungguhnya salat yang paling berat bagi orang munafik adalah salat Isya' Dan salat Subuh. Sekiranya mereka mengetahui apa yang terkandung di dalamnya, niscaya mereka akan mendatangi keduanya sekalipun dengan merangkak. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Apabila Rasulullah saw. meragukan keimanan seseorang, beliau akan menelitinya pada saat salat Subuh. Apabila beliau tidak mendapati orang tadi salat Subuh (di masjid), maka benarlah apa yang beliau ragukan dalam hati.

Di balik pelaksanaan dua rakaat di ambang fajar ini, tersimpan rahasia yang menakjubkan. Banyak permasalahan yang bila dirunut, bersumber dari pelaksanaan salat Subuh yang disepelekan. Itulah sebabnya, para sahabat Rasulullah saw. sekuat tenaga agar tidak kehilangan waktu emas itu.

Pernah suatu hari, mereka terlambat salat Subuh dalam penaklulkan benteng Tastar. 'Kejadian' ini membuat seorang sahabat, Anas bin Malik selalu menangis bila mengingatnya. Yang menarik, ternyata Subuh juga menjadi waktu peralihan dari era jahiliyah menuju era tauhid. Kaum 'Ad, Tsamud, dan kaum pendurhaka lainnya, dilibas azab Allah swt. pada waktu Subuh.

Seorang penguasa Yahudi pernah menyatakan bahwa mereka tidak takut dengan orang Islam, kecuali pada satu hal, yaitu bila jumlah jamaah salat Subuh mencapai jumlah jamaah salat Jumat. Memang, tanpa salat Subuh, umat Islam tidak lagi berwibawa. Tak selayaknya kaum muslimin mengharapkan kemuliaan, kehormatan, dan kejayaan, bila mereka tidak memperhatikan salat ini.

Bagaimana orang-orang muslim tidur di waktu Subuh, lalu dia berdoa pada waktu Dhuha atau waktu Zhuhur atau waktu sore hari (Ashar), memohon kemenangan, keteguhan dan kejayaan di muka bumi. Bagaimana mungkin?

Sesungguhnya agama ini tidak akan mendapatkan kemenangan, kecuali telah terpenuhi semua syarat-syaratnya. Yaitu dengan melaksanakan ibadah, konsekuen dengan akidah, berakhlak mulia, mengikuti ajaran-Nya, tidak melanggar larangan-Nya, dan tidak sedikit pun meninggalkannya, baik yang sepele apalagi yang sangat penting.

Subhanallah! Allah swt. akan mengubah apa yang terjadi di muka bumi ini dari kegelapan menjadi keadilan, dari kerusakan menuju kebaikan. Semua itu terjadi pada waktu yang mulia, ialah waktu Subuh. Berhati-hatilah, jangan sampai tertidur pada saat yang mulia ini. Allah swt akan memberikan jaminan kepada orang yang menjaga salat Subuhnya, yaitu terbebas dari siksa neraka jahanam. Diriwayatkan dari Ammarah bin Ruwainah r.a., ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: "Tidak akan masuk neraka, orang yang salat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam matahari." (HR. Muslim).

Salat Subuh merupakan hadiah dari Allah swt., tidak diberikan, kecuali kepada orang-orang yang taat lagi bertaubat. Hati yang diisi dengan cinta kemaksiatan, bagaimana mungkin akan bangun untuk salat Subuh? Hati yang tertutup dosa, bagaimana mungkin akan terpengaruh oleh hadist-hadist yang berbicara tentang keutamaan salat Subuh?

Orang munafik tidak mengetahui kebaikan yang terkandung dalam salat Subuh berjamaah di masjid. Sekiranya mereka mengetahui kebaikan yang ada di dalamnya, niscaya mereka akan pergi ke masjid, bagaimanapun kondisinya, seperti sabda Rasulullah saw.: " Maka mereka akan mendatanginya, sekalipun dengan merangkak."

Coba kita bayangkan ketika ada seorang laki-laki yang tidak mampu berjalan, tidak ada orang yang membantu memapahnya. Dalam kondisi yang sedemikian rupa, ia bersikeras mendatangi masjid dengan merangkak dan merayap di atas tanah untuk mendapatkan kebaikan yang terkandung dalam salat Subuh berjamaah Sekiranya kita saksikan ada orang yang meninggalkan salat Subuh berjamaah di masjid (dengan sengaja), maka kita akan mengetahui betapa besar musibah yang telah menimpanya.

Tentu saja, tulisan ini bukan untuk menuduh orang-orang yang tidak menegakkan salat Subuh di masjid dengan sebutan munafik. Allah swt Maha Tahu akan kondisi setiap muslim. Namun, sebaiknya hal ini dapat dijadikan sebagai bahan koreksi bagi setiap individu (kita), orang-orang yang kita cintai, anak-anak, serta sahabat-sahabat kita. Sudahkah kita salat Subuh berjamaah di masjid/musalla secara istiqomah?

Jika seseorang meninggalkan salat Subuh dengan sengaja, maka kesengajaan tersebut adalah bukti nyata dari sifat kemunafikan. Barang siapa yang pada dirinya terdapat sifat ini, maka segeralah bermuhasabah (intropeksi diri) dan bertaubat. Mengapa? Karena dikhawatirkan akhir hayat yang buruk (su'ul khatimah) akan menimpanya. Nauzubillah minzalik! (HD).

[url]http://www.hudzaifah.org

Selasa, 14 Desember 2010

Su’airah; Wanita Penghuni Surga

Dia adalah seorang shahabiyyat bernama Su’airah al-Asadiyyah atau yang dikenal dengan Ummu Zufar radhiyallohu’anha. Walau para ahli sejarah tak menulis perjalanan kehidupannya secara rinci, karena hampir semua kitab-kitab sejarah hanya mencantumkan sebuah hadits dalam biografinya, namun dengan keterangan yang sedikit itu kita dapat memetik banyak faedah, pelajaran, serta teladan yang agung dari wanita shalihah ini.

Su’airah al-Asadiyyah berasal dari Habsyah atau yang dikenal sekarang ini dengan Ethiopia. Seorang wanita yang berkulit hitam, yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan penuh ketulusan. Ia adalah perumpamaan cahaya dan bukti nyata dalam kesabaran, keyakinan dan keridhaan terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah, Rabb Pencipta Alam semesta ini. Dia adalah wanita yang datang dan berbicara langsung dengan pemimpin orang-orang yang ditimpa musibah dan imam bagi orang-orang yang sabar, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

Dialog mereka berdua telah dimaktub dan dinukilkan di dalam kitab sunnah yang mulia. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya dengan sanadnya dari ‘Atha’ bin Abi Rabah ia berkata, Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Inginkah engkau aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?” Aku pun menjawab, “Tentu saja.”

Ia berkata, ”Wanita berkulit hitam ini (orangnya). Ia telah datang menemui Nabi shallallahu’alaihi wasallam lalu berkata:

“Sesungguhnya aku berpenyakit ayan (epilepsi), yang bila kambuh maka tanpa disadari auratku terbuka. Do’akanlah supaya aku sembuh.” Rasululloh shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Jika engkau kuat bersabar, engkau akan memperoleh surga. Namun jika engkau ingin, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.”

Maka ia berkata:”Aku akan bersabar.” Kemudian ia berkata:”Sesungguhnya aku (bila kambuh maka tanpa disadari auratku) terbuka, maka mintakanlah kepada Allah supaya auratku tidak terbuka.” Maka Beliau shallallahu ’alaihi wasallam pun mendo’akannya. (HR Al-Bukhari 5652)

Perhatikanlah … betapa tingginya keimanan wanita ini. Ia berusaha menjaga hak-hak Allah dalam dirinya. Tak lupa pula mempelajari ilmu agama-Nya. Meski ditimpa penyakit, ia tidak putus asa akan rahmat Allah dan bersabar terhadap musibah yang menimpanya. Sebab ia mengetahui itu adalah sesuatu yang diwajibkan oleh Allah. Bahwasanya tak ada suatu musibah apapun yang diberikan kepada seorang mukmin yang sabar kecuali akan menjadi timbangan kebaikan baginya pada hari kiamat nanti.

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“ Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan diberi pahala tanpa batas.” (QS Az-Zumar :10)

Di dalam musibah atau cobaan yang diberikan Allah kepada manusia terkandung hikmah yang agung, yang dengannya Allah ingin membersihkan hambanya dari dosa. Dengan keyakinan itulah Su’airah lebih mengutamakan akhirat daripada dunia, kerana apa yang ada disisi Allah lebih baik dan kekal. Dan Ketika diberikan pilihan kepadanya antara surga dan kesembuhan, maka ia lebih memilih surga yang abadi. Akan tetapi di samping itu, ia meminta kepada Rasululloh shallallahu ’alaihi wasallam untuk mendoakan agar auratnya tidak terbuka bila penyakitnya kambuh, karena ia adalah waniya yang telah terdidik dalam madrasah ‘iffah (penjagaan diri) dan kesucian, hasil didikan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, dan menjaga hak Allah yang telah memerintahkan wanita muslimah untuk menjaga kehormatan dirinya dengan menutup aurat. Allah subhanahu wa ta’alla berfirman:

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.” (Qs An-Nur: 31)

Su’airah telah memberikan pelajaran penting bagi para wanita yang membuka auratnya, bahwa hendaknya mereka bersyukur kepada Allah ta’alla atas nikmat kesehatan yang telah dilimpahkan kepada mereka. Berpegang dengan hijab yang syar’i adalah jalan satu-satunya untuk menuju kemuliaan dan kemenangan hakiki, karena ia adalah mahkota kehormatannya. Dalam permintaannya, Su’airah hanya meminta agar penyakit yang membuatnya kehilangan kesadarannya itu tidak menjadi sebab terbukanya auratnya, padahal dalam keadaan itu pena telah diangkat darinya! Akan tetapi, ia tetap berpegang dengan hijab dan rasa malunya!

Betapa jauhnya perbandingan antara wanita yang pemalu dan penyabar ini dengan mereka yang telanjang yang tampil dilayar-layar kaca dan terpampang di koran dan majalah-majalah. Tak perlu kita mengambil contoh terlalu jauh sampai ke negara-negara barat sana. Cukuplah kita perhatikan di negara kita tercinta ini saja, banyak kita temukan wanita-wanita telanjang berlalu lalang dengan santainya di setiap lorong dan sudut kota, bahkan di kampung-kampung tanpa rasa malu sedikitpun. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam telah sebutkan perihal mereka ini dengan sabdanya:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“ Ada dua golongan penduduk neraka yang aku belum pernah melihat mereka: satu kaum yang memiliki cemeti seperti ekor sapi dimana mereka memecut manusia dengannya, dan kaum wanita yang berpakaian akan tetapi telanjang, genit dan menggoda, (rambut) kepala mereka seperti punuk onta yang miring. Sungguh mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak akan mendapati baunya, padahal bau surga bisa didapati dari jarak perjalanan sekian dan sekian (jauhnya).” (HR Muslim 5704)

Mereka tak ubahnya seperti binatang yang kemana-mana tak berpakaian karena mereka memang tidak berakal! Keluarnya mereka telah merusak pandangan orang-orang yang berakal. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda tentang mereka:

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَان

“Seorang wanita itu (seluruhnya) aurat. Apabila ia keluar (rumah) maka setan akan membuat mereka nampak indah di hadapan orang-orang yang memandanginya.” (HR Tirmidzi 1206, dishahihkan al-Albani dalam Shahihul Jami’ no 6690)

Dan sungguh semua itu bertolak belakang dengan fitrah manusia. Allah ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (١٧٩)

“ Sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Dan mereka memiliki telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Qs Al A’raf :179)

Demikianlah sosok Su’airah al-Asadiyyah radhiyallahu’anha, wanita yang dipuji Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam akan kesabaran dan ‘iffah (penjagaan diri)nya. Semoga pelajaran agung yang telah diwariskannya dapat menjadi acuan bagi wanita muslimah menuju keridhaan Allah subhanahu wa ta’alla, dan menjadikan kita penghuni surga sebagaimana Su’airah, Aamiin.

***

Artikel Muslimah.or.id
Dikutip dari majalah Mawaddah Edisi 7 tahun ke-3

Bagaimana Memandang Segala Sesuatu Dari Sudut Pandang Positif?

Seorang anak laki-laki buta duduk di tangga sebuah bangunan dengan sebuah topi terbalik di dekat kakinya, untuk menampung sumbangan dari orang-orang lewat. Ia menaruh sebuah karton putih dengan tulisan: "Saya buta, tolonglah saya."

Di topi itu terlihat sedikit koin. Seseorang berjalan mendekat.
Ia mengambil beberapa koin dari kantungnya & menjatuhkannya di topi itu.
Ia kemudian mengambil karton putih itu, membaliknya & menuliskan beberapa kata. Ia menaruh kembali karton putih itu sehingga setiap orang yang berjalan melewati anak buta itu dapat membaca kata-kata barunya.

Dengan segera topi itu mulai dipenuhi koin. Banyak orang mau memberi uang kepada anak buta itu. Sore harinya lelaki yang telah mengganti perkataan di karton putih itu datang lagi untuk melihat bagaimana hasilnya. Anak laki-laki buta itu mengenali lelaki itu dari langkah- langkah kakinya, lalu ia bertanya, "Apakah bapak adalah orang yang mengganti tulisan di karton putih tadi pagi? Apa sih yang bapak tulis?”

Lalu si bapak menjawab,”Saya hanya menuliskan kebenaran. Saya menuliskan apa yang engkau tulis tapi dengan cara berbeda. Saya menuliskan ‘Hari ini hari yang indah, namun saya tak dapat melihatnya’. Itu saja"

Apakah karton dengan tulisan pertama & kedua sama? Tentu saja
kedua tulisan itu mengatakan kepada orang-orang yang lewat bahwa anak itu buta. Namun tulisan yang kedua mengatakan bahwa orang-orang sangat beruntung dapat melihat hari yang indah karena mereka tidak buta. Janganlah heran kalau tulisan kedua lebih efektif mengajak orang bersyukur & mendorong orang-orang untuk memberi uang kepada anak buta itu.


Milikilah kemampuan untuk memandang segala sesuatu dari sudut pandang positif dan bersyukurlah atas setiap yang ada pada kita ataupun yang tidak ingin kita alami. Saat kita – sebagai orangtua – melakukan hal tersebut maka secara tidak langsung kita melatih anak-anak kita melakukan hal yang sama sehingga mereka akan tumbuh dengan sikap mental yang baik dan penuh rasa bersyukur serta bisa memandang segala sesuatu dari cara yang positif!

Ada dua cara untuk mencapai hal tersebut. Cara pertama melalui pembelajaran sendiri (otodidak) dengan cara mengalami setiap peristiwa tidak mengenakkan ditambah dengan membaca ratusan buku tentang anak dan keluarga atau cara kedua dengan mengikuti sebuah program yang telah disusun secara sistematis berdasarkan pengalaman menangani ribuan keluarga sejak tahun 1995.

Investasi dalam pendidikan adalah sebuah investasi yang tak ternilai harganya. Saat kita senantiasa belajar maka kita secara tidak langsung menjadi teladan yang baik bagi putra putri kita.

dari milist SO

Senin, 13 Desember 2010

Orang Beriman Tercipta Dengan Penuh Cobaan

Terdapat riwayat yang shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Sesungguhnya seorang mukmin tercipta dalam keadaan Mufattan (penuh cobaan) , Tawwab (senang bertaubat) , dan Nassaa' (suka lupa), (tetapi) apabila diingatkan ia segera ingat". (Silsilah Hadits Shahih No. 2276).

Hadist ini merupakan hadits yang menjelaskan sifat-sifat orang mukmin, sifat-sifat yang senantiasa lengket dan menyatu dengan diri mereka, tiada pernah lepas hingga seolah-olah pakaian yang selalu menempel pada tubuh mereka dan tidak pernah terjauhkan dari mereka.

1. Mufattan
Artinya : Orang yang diuji (diberi cobaan) dan banyak ditimpa fitnah. Maksudnya : (orang mukmin) adalah orang yang waktu demi waktu selalu diuji oleh Allah dengan balaa' (bencana) dan dosa-dosa. (Faid-Qadir 5/491).

Dalam hal ini fitnah (cobaan) itu akan meningkatkan keimanannya, memperkuat keyakinannya dan akan mendorong semangatnya untuk terus menerus berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebab dengan kelemahan dirinya, ia menjadi tahu betapa Maha Kuat dan Maha Perkasanya Allah, Rabb-nya.

Menurut sebuah riwayat dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Perumpamaan orang mukmin ibarat sebatang pokok yang lentur diombang-ambing angin, kadang hembusan angin merobohkannya, dan kadang-kadang meluruskannya kembali. Demikianlah keadaannya sampai ajalnya datang. Sedangkan perumpamaan seorang munafik, ibarat sebatang pokok yang kaku, tidak bergeming oleh terpaan apapun hingga (ketika) tumbang, tumbangnya sekaligus".
(Bukhari : Kitab Al-Mardha, Bab I, Hadist No. 5643, Muslim No. 7023, 7024, 7025, 7026, 7027).

Ya, demikianlah sifat seorang mukmin dengan keimanannya yang benar, dengan tauhidnya yang bersih dan dengan sikap iltizam (komitment)nya yang sungguh-sungguh.

2. Tawaab Nasiyy
"Artinya : Orang yang bertaubat kemudian lupa, kemudian ingat, kemudian bertaubat". (Faid-Al Qadir 5/491).

Seorang mukmin dengan taubatnya, berarti telah mewujudkan makna salah satu sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu sifat yang terkandung dalam nama-Nya : Al-Ghaffar (Dzat yang Maha Pengampun). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Artinya : Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar". (Thaha : 82).

3. Nassaa' - Apabila Diingatkan, Ia Segera Ingat.
Artinya : Bila diingatkan tentang ketaatan, ia segera bergegas melompat kepadanya, bila diingatkan tentang kemaksiatan, ia segera bertaubat daripadanya, bila diingatkan tentang kebenaran, ia segera melaksanakannya, dan bila diingatkan tentang kesalahan ia segera menjauhi dan meninggalkannya.

Ia tidak sombong, tidak besar kepala, tidak congkak dan tidak tinggi hati, tetapi ia rendah hati kepada saudara-saudaranya, lemah lembut kepada sahabat-sahabatnya dan ramah tamah kepada teman-temannya, sebab ia tahu inilah jalan Ahlul Haq (pengikut kebenaran) dan jalannya kaum mukminin yang shalihin.

Terhadap dirinya sendiri ia berbatin jujur serta berpenampilan luhur, sedangkan terhadap orang lain ia berperasaan lembut dan berahlak mulia, bersuri tauladan kepada insan teladan paling sempurna yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang telah diberi wasiat oleh Rabb-nya dengan firman-Nya :

"Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka .....". (Ali Imran : 159).

Inilah sifat seorang mukmin. Ini pula jalan hidup serta manhaj perilakunya.

Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdulhamid Al-Halaby . Tulisan ini diterjemahkan dari Majalah Al-Ashalah edisi 15, 16 th III -15 Dzul Qa'dah 1415H, dan dimuat di Majalah As-Sunnah edisi 07/th III/1419-1998.

sumber; http://forumm.wgaul.com/printthread.php?t=34532&pp=40&page=20

Kamis, 09 Desember 2010

Rindu Nabi kepada Ikhwan

"Bilakah aku bertemu Ikhwan-ikhwan ku ? " Para sahabat berkata : " Bukankah kami
Ikhwan- Ikhwan mu ? " Nabi Saw menjawab : "Kalian adalah sahabat-sahabat ku,
sedangkan ikhwan- ikhwanku adalah orang-orang yang beriman kepadaku tetapi tidak
pernah melihatku dan aku rindu kepada mereka". (HR Abu Syaikh)

"Aku rindu bertemu ikhwan-ikhwanku, yaitu orang-orang yang beriman kepadaku
namun tidak pernah melihatku". (HR Ahmad)

Selasa, 07 Desember 2010

Mengapa Kita Membaca AlQuran Meskipun Tidak Mengerti Satupun Artinya?

Seorang muslim tua Amerika tinggal di sebuah perkebunan/area di sebelah timur Pegunungan Kentucky bersama cucu laki-lakinya. Setiap pagi Sang kakek bangun pagi dan duduk dekat perapian membaca Al-qur’an. Sang cucu ingin menjadi seperti kakeknya dan memcoba menirunya seperti yang disaksikannya setiap hari.

Suatu hari ia bertanya pada kakeknya : “ Kakek, aku coba membaca Al-Qur’an sepertimu tapi aku tak bisa memahaminya, dan walaupun ada sedikit yang aku pahami segera aku lupa begitu aku selesai membaca dan menutupnya. Jadi apa gunanya membaca Al-quran jika tak memahami artinya ?

Sang kakek dengan tenang sambil meletakkan batu-batu di perapian, memjawab pertanyaan sang cucu : “Cobalah ambil sebuah keranjang batu ini dan bawa ke sungai, dan bawakan aku kembali dengan sekeranjang air.”

Anak itu mengerjakan seperti yang diperintahkan kakeknya, tetapi semua air yang dibawa habis sebelum dia sampai di rumah. Kakeknya tertawa dan berkata, “Kamu harus berusaha lebih cepat lain kali “.

Kakek itu meminta cucunya untuk kembali ke sungai bersama keranjangnya untuk mencoba lagi. Kali ini anak itu berlari lebih cepat, tapi lagi-lagi keranjangnya kosong sebelum sampai di rumah.

Dengan terengah-engah dia mengatakan
kepada kakeknya, tidak mungkin membawa sekeranjang air dan dia pergi untuk mencari sebuah ember untuk mengganti keranjangnya.

Kakeknya mengatakan : ”Aku tidak ingin seember air, aku ingin sekeranjang air. Kamu harus mencoba lagi lebih keras. ” dan dia pergi ke luar untuk menyaksikan cucunya mencoba lagi. Pada saat itu, anak itu tahu bahwa hal ini tidak mungkin, tapi dia ingin menunjukkan kepada kakeknya bahwa meskipun dia berlari secepat mungkin, air tetap akan habis sebelum sampai di rumah. Anak itu kembali mengambil / mencelupkan keranjangnya ke sungai dan kemudian berusaha berlari secepat mungkin, tapi ketika sampai di depan kakeknya, keranjang itu kosong lagi. Dengan terengah-engah, ia berkata : ”Kakek, ini tidak ada gunanya. Sia-sia saja”.

Sang kakek menjawab : ”Nak, mengapa kamu berpikir ini tak ada gunanya?. Coba lihat dan perhatikan baik-baik keranjang itu .”

Anak itu memperhatikan keranjangnya dan baru ia menyadari bahwa keranjangnya nampak sangat berbeda. Keranjang itu telah berubah dari sebuah keranjang batu yang kotor, dan sekarang menjadi sebuah keranjang yang bersih, luar dan dalam. ” Cucuku, apa yang terjadi ketika kamu membaca Qur’an ? Boleh jadi kamu tidak mengerti ataupun tak memahami sama sekali, tapi ketika kamu membacanya, tanpa kamu menyadari kamu akan berubah, luar dan dalam.

sumber: http://www.semuabisnis.com/articles/189133/1/Mengapa-Kita-Membaca-AlQuran-Meskipun-Tidak-Mengerti-Satupun-Artinya-/Page1.html

Semoga bermanfaat

Agar Para Nabi dan Syuhada Cemburu Padamu

Dari Abu Malik Al-Asy’ary, bahwa suatu ketika, setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyelesaikan sholatnya, maka beliau menghadap ke arah orang-orang dan bersabda,”Wahai manusia, dengarkan, pikirkan, dan amalkanlah. Sesungguhnya Allah azza wajalla memiliki hamba-hamba, yang mereka itu bukan para nabi dan bukan pula syuhada’, namun para nabi dan syuhada’ berharap seperti diri mereka, yang duduk bersanding dan dekat dengan Allah.“
Lalu datang seorang arab Badui di pinggir kerumunan orang-orang lalu menunjukkan jarinya ke arah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, seraya berkata,”Wahai nabi Allah, ada orang-orang yang mereka itu bukan nabi dan bukan pula syuhada’, yang para nabi dan syuhada’ itu berharap sekiranya seperti mereka, karena kedekatan mereka dengan Allah. Beritahukanlah kepada kami bagaimana gambaran mereka?“
Wajah beliau tampak berseri karena pertanyaan orang Badui tersebut. Maka beliau menjawab,”Mereka adalah orang-orang yang tak pernah dikenal dan terasing dari keluarga dan kabilahnya. Mereka tidak diikat oleh hubungan kekerabatan,namun mereka saling mencintai karena Allah dan saling rukun. Allah meletakkan bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya, lalu mendudukkan mereka di atasnya. Lalu Allah membuat wajah mereka dari cahaya, membuat pakaian mereka dari cahaya, membuat manusia heran terhadap mereka pada hari Kiamat, sementara mereka sendiri tidak heran. Mereka adalah para Wali Allah yang tiada ketakutan atas diri mereka, dan mereka tidak bersedih hati.“
(Musnad Imam Ahmad, 5/243)


Dalam keterangan yang lain Nabi Muhammad menjelaskan,
”Di sekeliling Arsy terdapat mimbar-mimbar dari cahaya yang ditempati oleh suatu kaum yang berpakaian dan berwajah (cemerlang) pula. Mereka bukanlah para nabi atau syuhada, tetapi nabi dan syuhada merasa iri terhadap mereka.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada kami tentang mereka.” Beliau menjawab, ”Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai, bersahabat, dan saling mengunjungi karena Allah.
” (HR Nasa’i dari Abu Hurairah
Radiallahu ‘anhu)